Ihsan Hamid Doktor ke-1370 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Meneliti Korupsi di Parlemen

- 15 Juli 2022, 16:06 WIB
Provendus Dr. Ihsan Hamid, M.A.Pol. yang juga Dosen UIN Mataram.
Provendus Dr. Ihsan Hamid, M.A.Pol. yang juga Dosen UIN Mataram. /Dok. Warta Lombok/Ihsan Hamid

Kondisi yang demikian kemudian turut pula membuat kompetisi antar partai politik menjadi semakin keras, semua partai berkompetisi untuk menjadi pemenang Pemilu dan lolos ke parlemen, namun untuk mencapai itu semua partai membutuhkan modal yang sangat besar. Sehingga tidak jarang Parpol dalam memenuhi kebutuhan modal tersebut kemudian meminta iuran kepada Anggota DPR-nya di parlemen, yang terkadang lebih dari 30 persen dari gaji legislator dipotong langsung oleh bendahara partai.

Karena itu, kedepan potensi terjadinya kasus korupsi di parelemen terus terbuka lebar, akibat sistem pemilu yang semakin liberal dan membutuhkan biaya yang cukup besar tersebut. Sehingga masih terdapat Anggota DPR RI yang terjebak dalam praktik korupsi baik sebagai, mafia anggaran, mafia peradilan, mafia proyek, serta menerima suap karena jual pengaruh atas legitimasi yang mereka miliki. Dalam hal ini seringkali para legislator tersebut terpaksa menerima biaya dari perusahaan, agen, atau pemerintah daerah dengan imbalan menyetujui item anggaran yang sangat penting. Kondisi ini kemudian membawa pengaruh besar pada memburuknya sistem kerja di parlemen, mengabaikan proses-proses good governance yang dicerminkan oleh fraksi masing-masing Parpol lewat Anggota DPR, apalagi dinamika dan perilaku Parpol ini menjadi hulu dari semua aktifitas di parlemen, jika baik pengelolaan keuangan di Parpol rasanya baik juga pengelolaan keuangan di hilir, artinya jika Anggota DPR dalam proses rekrutmen sebagai Caleg hingga setelah terpilih menjadi Anggota DPR tidak dituntut mengeluarkan banyak biaya dan iuran Anggota rupanya Anggota DPR juga tidak akan terlalu terbebani dengan persoalan keuangan sehingga dapat menekan perilaku koruptif.

Pada titik ini, penelitian ini menunjukkan selama konsolidasi kelembagaan di DPR RI belum tuntas, kemudian terus berjalan melalui sistem kerja dalam proses politik di  DPR, semakin banyaknya tersebar pos kekuasaan, serta mekanisme pembagian kekuasaan di DPR yang belum tuntas, turut menjadi bagian yang akan terus menyuburkan korupsi di parlemen karena Pasca Reformasi terjadi penyebaran simpul-simpul kekuasaan, yang awalnya dikendalikan oleh beberapa individu sentral, namun setelah adanya liberalisasi politik menjadi tersebar ke beberapa elemen individu hingga ke level bawah.

Akibatnya, terdapat lebih banyak veto players (penentu keputusan), yang memberi jalan bagi perluasan pos-pos baru terjadinya penyuapan. Kondisi yang semacam ini kemudian sangat mempengaruhi sistem dan budaya kerja bagi Anggota DPR RI yang turut membuat korupsi tersebut kian banal. Mekanisme kerja seperti pola budaya politik patronase di DPR RI, membuat Anggota DPR RI harus tunduk terhadap semua intervensi partai atau Ketum partai, membuat mereka menjadi pekerja partai atau elit-elit oligarkis yang menjadi penopang bekerjanya lembaga-lembaga politik di parlemen.

Dalam budaya kerja patronase maka patron (atasan-majikan) dan client (bawahan-pesuruh). Dalam konsepsi yang demikian, partai atau ketum partai akan berposisi sebagai patron dan Anggota DPR adalah client. Mekanisme kerja pun tidak ubahnya seperti majikan dan buruh. Patron-client melahirkan mekanisme kerja “balas budi‟. Model pola hubungan kerja yang semacam itu kemudian terus membudaya dan seolah melembaga di parlemen. Lambat laun, hingga saat ini, perilaku korup yang diakibatkan oleh sistem kerja dengan model patronase tersebut menjadi habitus yang terus terbangun, yang pada akhirnya habitus tersebut akan mempengaruhi munculnya perilaku koruptif, karena pada dasarnya Anggota DPR RI tersebut merupakan individu yang organis adaptif terhadap lingkungannya.

Baca Juga: Rahasia Agar Allah Tersenyum Kepadamu, Maka Buatlah Ibumu Tersenyum

Secara lebih spesifik penelitian ini juga menemukan bahwa, secara umum kecendrungan jenis korupsi yang dilakukan oleh Anggota DPR RI Pasca Reformasi, atau pasca Anggota DPR RI dipilih oleh rakyat, adalah  korupsi dengan jenis seperti penyuapan, mark up anggaran, kecurangan, dan penggelapan. Mulai dari korupsi skala besar (grand corruption), hingga korupsi skala kecil (petty corruption).  Adapun untuk model korupsi yang dilakukan adalah korupsi dengan model Resources Allocation corruption (sebuah model korupsi yang menjelaskan adanya persaingan kegiatan birokrasi untuk mendapatkan alokasi anggaran) dan agency model corruption (sebuah model korupsi dimana Anggota Legislatif tersebut berperan sebagai agen sedangkan swasta/individu tersebut sebagai prinsipil yang membutuhkan jasa agen atas kekuasaan yang dimiliki dalam mempermudah semua urusan prinsipil, seperti menjadi makelar kasus, makelar pengurusan izin tambang, dan lainnya), dengan pola-pola korupsi yang melibatkan principal, agent, client, dan diperparah oleh keterlibatan makelar (middlemen) di dalamnya, yang terjadi di empat Alat Kelengkapan Dewan (AKD) paling rawan terjadinya korupsi yakni di Banggar, Baleg, Komisi dan di Pansus/Panja. Dalam setiap kasus korupsi yang terjadi di DPR RI tersebut dapat dipastikan pasti melibatkan tiga unsur kongsi pelaku korupsi di dalamnya yaitu dari unsur Legislatif, Birokrat, dan Korporasi/Swasta,.

sehingga dalam batas tertentu, hasil penelitian ini kemudian sejalan dengan pendapat Warren, Jhon Girling, Arvin K Jain, Artidjo Alkostar, Azyumardi Azra, dan Sukron Kamil yang berpandangan bahwa korupsi di Parlemen pada dasarnya melekat pada sistem pelaksanaan kekuasaan politik itu sendiri, lewat konsolidasi demokrasi dan kelembagaan yang terus berjalan sehingga entitasnya bersifat sistemik, dengan suasana kebatinan yang memang bobrok. Akhirnya berbagai modus korupsi mereka lakukan, seperti menjadi mafia anggaran, jual beli pasal, makelar proyek dan jual pangaruh, tanpa merasa bersalah. Penelitian ini tidak sejalan dengan salah satu pandangan dari Robert Klitgaard, Samuel P. Huntington, dan Pinto, yang terkadang memandang dalam batas tertentu jika korupsi dalam bentuk suap atau gratifikasi masih dianggap sebagai bagian dari cara dalam menciptakan alokasi sumber daya ekonomi untuk efisiensi. Akhirnya diantara alternatif tindakan pencegahannya adalah dengan menegakkan hukum, bila perlu hukuman mati, perbaikan budaya, sistem kerja serta terus melalukan penguatan konsolidasi demokrasi di parlemen, perbaikan manajemen kerja Parpol, serta penguatan integritas dan moralitas penyelenggara Negara, Anggota DPR RI dan semua elemen bangsa. Penguatan basis ekonomi yang merata dan pembangunan yang berkelanjutan diikuti dengan profesionalisme kerja yang tinggi turut menjadi solisi untuk mengeliminir terulangnya kasus korupsi  terjadi kembali. sehingga point inti dari riset ini adalah, jika korupsi disebabkan oleh adanya tekanan maka solusinya adalah perkuat penegakan hukum atau perberat hukuman bagi koruptor, jika penyebabnya adalah adanya kesempatan akibat lemahnya sistem, maka solusinya adalah perbaikan sistem politik dan birokrasi, dan apabila penyebab korupsi tersebut adalah lebih karena faktor rasional atau faktor-faktor individu pelaku maka solusinya adalah penguatan moral dan integritas penyelenggara Negara.***

Halaman:

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Disertasi Ihsan Hamid


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x