Ihsan Hamid Doktor ke-1370 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Meneliti Korupsi di Parlemen

- 15 Juli 2022, 16:06 WIB
Provendus Dr. Ihsan Hamid, M.A.Pol. yang juga Dosen UIN Mataram.
Provendus Dr. Ihsan Hamid, M.A.Pol. yang juga Dosen UIN Mataram. /Dok. Warta Lombok/Ihsan Hamid

WARTA LOMBOK - Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kembali melahirkan satu doktor dalam bidang ilmu politik, yang ditandai dengan pelaksanaan Ujian Sidang Promosi Doktor  dengan Promovendus Ihsan Hamid, Jakarta 15 Juni 2022.

Ihsan sapaan akrabnya tercatat sebagai Doktor ke-1370 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta setelah berhasil mempertahankan Disertasinya yang berjudul “Korupsi di Parlemen: Studi Terhadap Perilaku Politik Sejumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Pasca Reformasi” dihadapan tujuh profesor dewan penguji dalam sidang yang dilakukan di auditorium kampus tersebut.

Para dewan penguji memberikan apresiasi dan pujian atas keberanian peneliti untuk meneliti tema atau kasus yang dibilang cukup sensitif dimata publik, karena isu dan objek yang diteliti termasuk lembaga yang tidak main-main. lebih lanjut para penguji berharap disertasi ini untuk segera diterbitkan menjadi buku sertai dipublikasikan menjadi jurnal sehingga dapat memberi kontribusi besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia umumnya dan di parlemen secara lebih khusus.

Baca Juga: Tahun 2024 itu Tantangannya Berat, Pengamat Politik UI: Jangan Terjebak Capres Karena Survei

Jika ditelisik lebih jauh seperti yang dipaparkan dalam Sinopsis Disertasi dan pemaparan promovendus dalam Ujian Promosi Doktor tersebut, dapat dibaca jika penelitian ini secara umum  bertujuan untuk menjelaskan dinamika korupsi di Parlemen Pasca Reformasi dengan mengambil studi kasus terhadap perilaku korupsi sejumlah Anggota DPR RI Periode 2014-2019 diberbagai alat kelengkapan dewan.

Dalam temuannya, bahwa korupsi di parlemen tersebut terjadi karena berbagai faktor, baik faktor internal seperti: motivasi ekonomi, moralitas, pengawasan dan manajemen pengendalian yang lemah dan minus transparansi, maupun faktor eksternal seperti: faktor keluarga, lingkungan kerja, kesempatan, dan minimnya kontrol oleh partai politik. Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa korupsi yang cenderung banal tersebut, juga secara tidak langsung dipengaruhi oleh sistem Pemilu proporsional terbuka, konsolidasi demokrasi dan kelembagaan di lembaga DPR RI yang terus berjalan, akibatnya semakin tersebarnya posisi setrategis pengambil keputusan. Selain itu disebabkan juga oleh kuatnya budaya kerja dengan model patronase (patron-cilent/atasan bawahan).

Data tiga periode masa jabatan terakhir Anggota DPR RI di Parlemen kemudian mempertegas hal tersebut. Pada periode Masa Jabatan 2004-2009 tercatat sebanyak 12 orang Anggota DPR RI terlibat korupsi yang diadili dan diputus inkracht bersalah, begitu juga periode setelahnya, dalam Masa Jabatan 2009-2014 sebanyak 8 orang diadili tersandung kasus korupsi yang juga diputus bersalah. Seolah tidak ada ujungnya,  kasus korupsi di Parlemen terus terjadi dan kian masif, tercatat sebanyak 22 orang Anggota DPR RI pada Masa Jabatan 2014-2019 juga tersandung kasus korupsi setelah diputus bersalah, yang terjadi di berbagai alat kelengkapan dewan dalam bentuk dan sebab yang beranekaragam, disebabkan oleh beberapa faktor utama, seperti faktor ekonomi, faktor politik dan tata kelola kelembagaan, serta faktor sosial-budaya.

 Masifitas korupsi yang terjadi di DPR RI, cenderung banal dan laten tersebut pada batas tertentu juga dipengaruhi oleh besarnya pengaruh kekuatan modal untuk merebut pos-pos jabatan di parlemen. Kontestasi untuk menjadi Anggota DPR RI yang membutuhkan biaya tinggi, dan pembiayaan aktivitas partai politik yang sangat besar, kemudian membutuhkan akses finansial yang sangat besar pula. Hal ini kemudian mendorong kekuatan pasar semakin dominan dalam proses politik. Biasanya pelaku bisnis memberikan sumbangan pada mereka yang sedang terlibat dalam kompetisi politik yang kemudian dibarengi dengan intensi mengenai ganjaran timbal balik berupa kebijakan-kebijakan dan lain sebagainya yang menguntungkan mereka. Kondisi semacam ini kemudian semakin parah terjadi di parlemen ketika sistem pemilihan Anggota DPR RI menggunakan sistem proporsional terbuka, dimana politisi terpilih untuk duduk di parlemen adalah politisi yang berhasil meraih suara terbanyak dalam Pemilu, ditambah juga dengan adanya ketentuan sistem parliamentary threshold 2.5 % pada Pileg 2009, 3.5% pada Pileg 2014, dan 4% pada Pileg 2019 menjadikan kontestasi semakin kompetitif. Proses liberalisasi politik ini tidak hanya membuat proses politik semakin liar, namun juga meningkatkan biaya politik secara signifikan.

Baca Juga: Komisi VIII DPR RI Kunjungi NTB Pasca Kerusuhan SARA di Lombok Barat

Halaman:

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Disertasi Ihsan Hamid


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x