WARTA LOMBOK - Menanti datangnya malam lailatul qadar merupakan harapan umat Islam pada bulan suci Ramadhan.
Menanti malam yang penuh berkah, kemuliaan, dan kesucian menuntut seorang hamba juga dalam keadaan baik dan suci hatinya setelah menempa dua puluh hari pertama bulan Ramadhan karena malam lailatul qadar hadir di sepuluh malam terakhir bulan suci tersebut.
Pada hitungan sepuluh malam terakhir bulan ramadhan tersebut, Nabi Muhammad SAW menyambut malam mulia itu dengan mengajarkan kepada umatnya agar melakukan i’tikaf.
Walaupun i’tikaf bisa dilakukan kapan saja dan selama apapun. Bahkan dalam pandangan Imam Syafi’i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci, namun Nabi Muhammad SAW selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa.
Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa. Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah:
ِرَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّار
Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar. (Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka).
Doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat, tetapi juga untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud.
Artinya daya atau kemampuan untuk mendapatkan kebajikan tersebut. Sebab doa sendiri mengandung arti permohonan yang disertai usaha.
Baca Juga: Berikut Penyebab Mengapa Terdapat Banyak Masjid Namun Sepi Jamaah
Terlihat dampak dari doa tersebut tidak hanya untuk mendapatkan kebajikan di dunia, tetapi juga bagaimana kebajikan tersebut berlanjut hingga di hari kemudian.
Hal ini sesuai dengan hakikat malam lailatul qadar itu sendiri yang kebaikan dan kemuliaannya bersifat tanazzalul (berkesinambungan).