Menyiarkan Nama-nama Orang yang Berkurban, Apakah Termasuk Riya?

- 11 Juli 2021, 17:31 WIB
Ilustrasi/Hukum menyiarkan nama-nama orang yang berkurban saat Hari Raya Idul Adha.
Ilustrasi/Hukum menyiarkan nama-nama orang yang berkurban saat Hari Raya Idul Adha. /FREEPIK

WARTA LOMBOK - Hari Raya Idul Adha sebentar lagi, artinya pelaksanaan kurban mulai dari penyembelihan hewan kurban hingga pembagian daging kurban akan dibagikan ke masyarakat.

Di beberapa daerah proses penyembelihan hewan kurban difasilitasi oleh pemerintah setempat. Ini menjadi salah satu bukti bahwa negara kita sebetulnya sudah sangat religius dan Islami, tanpa perlu diformalkan dengan simbol-simbol tertentu.

Berkait dengan semangat keislaman, sebagian panitia kurban mengambil inisiatif untuk menyiarkan nama-nama orang yang berkurban melalui pengeras suara, selebaran kertas atau mengunggahnya di media sosial.

Baca Juga: Amalan Sebelum Tidur Seorang Mukmin Agar Mimpi Bertemu Nabi Muhammad SAW

Terlepas dari apa pun motifnya, setidaknya ada sisi positif dari tradisi tersebut. Pertama, menghargai mudlahhi (pelaksana kurban); kedua, agar mereka didoakan dan yang paling penting adalah untuk menggugah masyarakat agar turut serta berkurban.

Bagaimana sebetulnya Islam menilai tradisi tersebut?

Menyiarkan nama-nama orang yang berkurban mengandung sisi pujian kepada mereka dengan menyebut nama-nama, secara tidak langsung akan memberi kesan riya agar mereka dinilai sebagai orang baik, dermawan, saleh, dan gemar bersedekah.

Sederhananya, orang yang menyiarkan nama-nama mudlahhi, secara eksplisit sebetulnya hendak berkata “ini loh orang baik”, “ini loh orang mulia”, “ini loh orang yang dermawan”, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, secara fiqih hukumnya sama dengan memuji orang lain.

Memuji orang lain jika tidak dilakukan di hadapannya, hukumnya diperbolehkan dengan catatan tidak berlebihan sampai pada taraf berbohong, misalnya diberitakan si A berkurban dua ekor kambing, padahal ia hanya berkurban satu ekor saja.

Baca Juga: Berikut Lima Keutamaan Shalat Subuh Bagi Seorang Mukmin Sejati

Bila sampai berdampak demikian, maka hukumnya haram dari sisi berbohong, bukan karena memuji. Pelakunya masuk dalam ancaman keras penyebaran berita dusta yang dijelaskan dalam beberapa ayat dan hadits Nabi. Syekh al-Imam al-Nawawi berkata yang artinya:

Adapun memuji di selain hadapan orang yang dipuji, maka tidak tercegah kecuali orang yang memuji berlebihan dan masuk dalam kebohongan, maka haram sebab berbohong, bukan karena memuji” (Syekh al-Imam al-Nawawi, al-Adzkar al-Nawawiyyah, hal. 276).

Hukum boleh ini bisa meningkat menjadi sunah bila berdampak kemaslahatan seperti memperlihatkan syi’ar atau memberi teladan kepada orang lain agar ditiru.

Halaman:

Editor: Herry Iswandi

Sumber: nu.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah