Menjadi Pemimpin Ideal Dengan Meneladani Kepemimpinan Profetik Rasulullah SAW

18 Januari 2024, 09:15 WIB
Fajrul Arsyad. /Dok. Warta Lombok/Mamiq Alki

Oleh: Fajrul Arsyad (Kabid PA HMI Cabang Mataram)

WARTA LOMBOK - Seorang pemimpin adalah mereka yang menggunakan jabatan dan wewenangnya untuk mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan kelompok bahkan sampai tujuan organisasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian kepemimpinan adalah perihal pemimpin atau cara memimpin.

Baca Juga: Sikap PRMN Terhadap Pinjol, Ini Adalah 'Rentenir Online' yang Harus Dihindari Masyarakat

Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang.

Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati.

Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal dalam diri seseorang.

Dalam sejarah Islam, bahwa kepemimpinan dalam Islam selalu dikonotasikan kepada pola kepemimpinan Nabi Muahammad Saw dan para sahabatnya. Karena kepemimpinan dalam Islam sebagaimana yang di praktekkan Nabi selalu bersumber pada al-Qur’an dan Hadist. Allah Swt telah memberi tahu kepada manusia, tentang pentingnya kepemimpinan dalam Islam, sebagaimana dalam al-Quran kita menemukan banyak ayat yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan. Di jelaskan dalam QS. al-Baqorah (2):30

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui

Baca Juga: Lakukan Kunker ke Jawa Timur, Pemprov NTB bersama Bank NTB Syariah Jalin KUB dengan Bank Jatim

Ayat di atas, menggambarkan, bahwa manusia di ciptakan salah satunya agar menjadi khalifah di muka bumi (pemimpin) namun menjadi pemimpin haruslah berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ada sehingga dapat tercapai tujuan yang ingin di capainya.

Termasuk memperhatikan unsur-unsur dalam suatu kepemimpinan agar terjadi proses perubahan.

Pemimpin harus selalu menunjukkan sikap komitmen dan pengabdiannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pemimpim agar dapat memberikan perubahan yang lebih baik terhadap suatu lembaga yang dipimpinnya. Sebaimana ungkapan Ki Hadjar Dewantara dalam filosofinya berbunyi Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani yanag artinya di depan menjadi teladan, di tengah memberi bimbingan dan di belakang memberi dorongan.

Kepemimpinan Profetik Rasulullah SAW

Bicara masalah kepemimpinan profetik, tentu tidak terlepas dai sosok Nabi Muhammad SAW sebagai satu-satunya figur paling sempurna yang pernah diutus oleh Allah ke muka bumi ini yang bahkan di gelar sebagai suri tauladan yang baik.

Alquran surah al-Ahzab ayat 21 menegaskan, Nabi adalah teladan (uswatun hasanah) tidak hanya dalam ibadah, namun juga dalam berbagai aspek kehidupan. Nabi Muhammad SAW adalah figur yang patut dijadikan contoh, termasuk dalam aspek kepemimpinan. Dalam waktu yang relatif singkat, yaitu sekitar 23 tahun, Nabi Muhammad SAW mampu memberikan perubahan semenanjung Arabiah.

Mulai dari taklik buta menuju tradisi kritis, dari mistis ke tradisional, dari hegemoni politik dan kekuasaan tiran ke keadilan politik. Otorianisme agama ke kebebasan beragama, dari perbudakan, kebodohan, ketidak adilan gender menuju keadilan sosio-kultural. Dengan revolusi yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad saw pada 14 abad yang lalu, tentunya menjadi sangat penting jika nilainya ditarik pada konteks zaman sekarang.

Memahami peristiwa sejarah keberhasilan Nabi Muhammad saw. di kala itu, kemudian mengambil nilainya untuk dipikirkan dan direvitalisasi pada konteks kekinian adalah sesuatu yang sangat urgen dalam membangun peradaban manusia.

Secara normatif, al-Quran memandang kepemimpinan sebagai “perjanjian Ilahiah” yang melahirkan tanggung jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan.

Melihat itu semua Nabi Muhammad SAW tidak saja sukses menjadi pemimpin agama, tapi juga pemimpin politik. Tentu saja kesuksesan beliau dalam memimpin tidak terlepas dengan menggunakan Kepemimpinan profetik.

Kepemimpinan profetik (prophetic leadership) merupakan kepemimpinan yang menerapkan karakter kepemimpinan para nabi, terutama Nabi Muhammad SAW. Setiap nabi adalah pemimpin. Dan, pemimpin dari sekalian manusia adalah Nabi Muhammad SAW, tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat karena ia memperoleh hak untuk memberi syafaat. 

Baca Juga: Kabar Duka, Ulama Indramayu Buya Syakur Meninggal Dunia

Sabdanya:"Di hari kiamat nanti, aku adalah pemimpin umat manusia seluruhnya...” (HR Bukhari Muslim).

Kuntowijoyo menginterpretasikan profetik pada tiga nilai dasar, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi sebagai deriviasi dari amar ma’ruf mengandung pengertian memanusiaan manusia. Liberasi yang diambil dari nahi munkar mengandung pengertian pembebasan. Sedangkan transendensi merupakan dimensi keimanan manusia. Ketiga muatan nilai ini mempunyai implikasi yang sangat mendasar dalam rangka membingkai kelansungan hidup manusia yang lebih humanistik. Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang membebaskan penghambaan manusia hanya kepada Allah swt. Artinya poin perbedaan antara kepemimpinan profetik dengan kepemimpinan lainnya adalah misi dunia dan misi akhiratnya.

Tiga Prinsip Penting Dalam Menerapkan Kepemimpinan Profetik Rasulullah SAW

Pertama, meneladani empat sifat wajib yang menjadi karakter utama Nabi Muhammad SAW, yaitu sidik, amanah, tabligh, dan fatanah.

Pemimpin harus menjadi orang yang jujur, bertindak benar, dan memiliki kepribadian integritas antara pikiran, ucapan, dan perbuatan. Dengan sifat sidik, ia menolak segala bentuk kebohongan, tidak memelihara hoaks, dan senantiasa memperjuangkan kebenaran untuk kemakmuran rakyatnya.

Rasulullah SAW sebagai fugur yang memiliki empati, simpati, dan kepedulian yang sangat kuat. Beliau tidak bisa bersikap acuh tak acuh Ketika melihat dan menghadapi situasi ketidakadilan dan kesengsaraan yang dirasakan oleh umatnya yang beriman.

Dengan sifat amanah, jabatan diyakini sebagai amanah rakyat yang harus dipikul dan pertanggungjawabannya juga kepada Allah SWT. Sifat tabligh menuntut pemimpin harus komunikatif terhadap rakyatnya baik dalam menyampaikan kebijakan maupun mendengar keluhan rakyat.

Adapun sifat fatanah, menuntut setiap pemimpin cerdas menyelesaikan masalah dan arif melahirkan kebijakan. Pemimpin profetik juga memiliki kecerdasan rohani sehingga hatinya tetap memiliki koneksi yang kuat dengan Allah SWT. Dengan begitu, kebijakannya selalu disandarkan pada Allah sehingga tidak menyengsarakan rakyatnya.

Kedua, meneladani sifat kepemimpinan Nabi Muhammad SAW seperti yang dijelaskan dalam surah at-Taubah ayat 128. Berat dirasakan oleh Nabi penderitaan orang lain (azizun alaihi maanittum).

Inilah pemimpin sejati yang memiliki kepekaan atas kesulitan rakyatnya (sense of crisis).

Nabi juga amat sangat berkeinginan agar umatnya aman, sentosa, dan selamat dunia akhirat (harishun alaikum). Kepemimpinan profetik memiliki semangat yang tinggi untuk mewujudkan rakyatnya berprestasi sehingga bangsanya meraih kemajuan gemilang (sense of achievement).

Baca Juga: Pecah Tangis, Jose Mourinho Resmi Dipecat Sebagai Pelatih As Roma

Nabi SAW juga memiliki sifat kasih sayang (raufunrahim) terhadap umatnya, bahkan orang- orang yang memusuhinya. Ia tidak pernah menginginkan kebinasaan ditimpakan pada orang lain, tidak pernah menyerang kecuali dalam mempertahankan diri dari serangan musuh dalam peperangan.

Bahkan dalam kehidupan berpolitik pun beliau meletakkan prinsip dasar komunikasi politik, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya “Maka dengan kasih sayang Allah kamu bersikap lembut kepada mereka, dan apabila kamu bersikap kasar lagi keras hati, maka sungguh mereka akan lari dari sekelilingmu”.

Ketiga, meneladani akhlak Nabi SAW yang mencintai, mengamalkan dan mengajarkan Alquran.

Alquran menegaskan, Nabi SAW memiliki akhlak yang agung (al-Qalam ayat 4). Ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi, jawabnya, "kana khuluqu al-Quran", akhlak Nabi itu adalah Alquran.

Maka, kepemimpinan profetik akan dimiliki setiap pemimpin yang mau mengkaji Alquran untuk ditadaburi, diamalkan, dan diajarkan. Sebaliknya, umat Islam yang memperoleh amanah sebagai pemimpin, tapi enggan atau jauh dari Alquran, niscaya hatinya akan keras, tertutup dari cahaya dan pertolongan Allah SWT.

Padahal, menjalankan amanah sebagai pemimpin butuh pertolongan-Nya. Prof. Tri Hanggono Achmad pernah mengatakan bahwa pemimpin adalah orang yang patuh dan lurus, (terhadap regulasi) dan tidak ingkar terhadap hal yang sudah disetujui bersama. Pada konteks ini berarti patuh dan taat pada Al-Qur’an dan Hadist sebagai referensi utamanya. Wallahu a’lam.***

Editor: Mamiq Alki

Tags

Terkini

Terpopuler