'PASRAH'

- 30 Mei 2023, 20:53 WIB
Said Muniruddin
Said Muniruddin /Dok. Warta Lombok/Said Muniruddin

Naik pesawat adalah prestise tersendiri. Tidak semua orang mampu membiayainya. Dibandingkan dengan bus, kapal laut, dan kereta api, tiket pesawat tentu lebih mahal. Maka mobilitas dengan pesawat menggambarkan kemampuan ekonomi seseorang. Masih ada imej bahwa yang naik pesawat adalah orang kaya. Karena imej ini, maka bisa dilihat bagaimana gagahnya para calon penumpang pesawat ketika sampai di bandara. Percaya diri bercampur ke‘aku’an dalam menenteng koper terlihat nyata.

Begitu sampai di dalam pesawat, sikap merasa gagah dan terhormat pelan-pelan mengendur. Penumpang mulai terduduk hening. Semua patuh, mematikan telepon genggam dan sungguh-sungguh mengencangkan sabuk pengaman. Do’a keselamatan yang tak pernah diucapkan selama hidup, kini mulai bermunculan. Begitu pesawat perlahan mulai bergerak, jantung pun ikut berdetak. Seiring dengungan mesin yang menghujam telinga, penumpang mulai mejamkan mata. Untuk mengurangi rasa takut, sebagian pura-pura tertidur. Tangan berpegangan erat pada pinggiran kursi. Pesawat pun bergetar hebat ketika melaju di landasan pacu. Doa dan dzikir mulai intensif. Ketakutan semakin menjadi-jadi ketika roda pesawat perlahan meninggalkan bumi. Perasaan takut semakin hebat, membayangkan bagaimana mungkin pesawat mengangkat dirinya yang sangat berat. Belum sempurna take-off, pesawat malah memutar haluan. Di saat seperti ini, detak jantung mendekati kecepatan pesawat. Bayangan jatuh mulai terkumpul di benak. Telapak tangan telah banjir keringat. Tasbih, tahmid, tahlil dan takbir semakin tak terbendung dari mulut manakala pesawat yang sedang take-off mengalami goyangan dan guncangan.

Disaat seperti inilah manusia merasa dirinya hampa. Sifat ke‘aku’an yang tadi pamer diri di bandara, kini membeku di udara. Gubernur lupa kalau dirinya gubernur. Bupati tidak tau lagi jika dirinya bupati. Kepala dinas lupa apa jabatannya. Profesor doktor tak lagi ingat gelarnya. Anggota DPR pun hilang perasaan terhormat sebagai wakil rakyat. Semua orang di saat take-off kehilangan identitas dunia. Semua berserah diri dan merasa dirinya bukan siapa-siapa. Satu-satunya yang coba diingat hanyalah Tuhan. Otak hanya diisi oleh pikiran positif tentang-Nya. La haula wala quwwata illa billah, tidak ada daya dan upaya selain dengan izin Allah. Inilah saat dimana harta dan kedudukan tidak berguna. Sebagian mulai membayangkan detik-detik kematian. Yang teringat hanyalah amal yang telah dilakukan. Apakah yang selama ini dilakukan telah cukup untuk membawa dirinya ke syurga atau malah menuju neraka. Pada kondisi kritis seperti ini, semua merasa amalannya sedikit dan berharap telah melakukan lebih banyak. Sebagian penumpang mulai memohon keampunan kepada Allah atas dosa-dosa terdahulu dan berjanji akan lebih baik lagi jika selamat dari penerbangan.

Itulah contoh sempurna sikap ‘pasrah’, ‘berserah diri’ atau Islam. Sebuah sikap jiwa yang muncul untuk sepenuh hati menggantungkan diri kepada Allah. Sikap ini mampu menghilangkan seluruh ego atau ke‘aku’an yang sering mendominasi manusia. Pikiran sepenuhnya tertuju kepada Pencipta. Hati dan lisan tidak pernah berhenti mengucap Asma-Nya. Keselamatan diri diyakini berada ditangan-Nya. Sikap pasrah yang sempurna kepada Allah ternyata mampu mematikan semua berhala dalam diri mulai dari pangkat, jabatan, harta dan prestise lainnya. Semua merasa diri kecil dihadapan-Nya. Sikap pasrah ini menyebabkan orang tunduk dan patuh kepada semua aturan yang memang diracang untuk keselamatan manusia. Orang yang berserah diri sepenuhnya sadar, Dia lah pemilik segalanya dan berhak mengambil semua miliknya kapan saja dia kehendaki. Sikap pasrah lah yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan dalam segala kondisi.

Sikap pasrah terus berlanjut sepanjang perjalanan udara. Setiap ada guncangan, penumpang kembali bershalawat. Sikap pasrah semakin tinggi manakala langit pekat, petir menyambar, pesawat turun naik dalam udara kosong. Rasa takut senantiasa muncul. Semua patuh pada perintah pilot dan pramugari. Penumpang yakin, kepatuhan lah sumber keselamatan. Rasa takut positif inilah yang disebut dengan “taqwa”. Yakni, rasa takut bahwa selama ini hidup kita lebih banyak maksiat daripada kebajikan. Dari rasa takut ini muncul rasa cinta kepada Allah yang kemudian melahirkan motivasi untuk semakin banyak beramal dan berbuat baik kepada manusia. Inilah rasa takut yang baik, atau ‘taqwa’.

Disamping karena altophobia (takut ketinggian -di alami oleh hampir semua orang di dunia), sikap pasrah ini sebenarnya muncul ketika kita sadar bahwa kita ini rapuh dalam menempuh suatu perjalanan yang tidak berlandasan. Pesawat melayang-layang, hidup jadi riskan. Jika bus atau kereta api terbalik, percaya diri untuk selamat lebih tinggi karena ada kesempatan melompat ke tanah. Kalau pesawat jatuh? Harus melompat ke mana? Bumi saja tidak terlihat. Sikap tenang dan nyaman hanya akan muncul jika secara spiritual kita memiliki tempat bergantung, yaitu Allah. Keimanan seperti ini lah yang sebenarnya membuat kita semakin kuat. Pengalaman ter-alienasi dan bunuh diri seperti yang dialami banyak orang terkenal, kaya dan cerdas berawal ketika mereka hampa secara spiritual. Jadi, pasrah kepada Allah adalah variabel utama dalam mencapai ketenangan dan kebahagiaan hidup. Hanya dengan mengingat Allah hati jadi tenang (QS. arRa’d: 28).

Pengalaman naik pesawat ini menggambarkan bagaimana sikap Islam (pasrah) terbentuk. Namun yang terpenting adalah, bisakah kita membawa pengalaman di udara ini menjadi prilaku di darat. Seandainya bisa, efeknya luar biasa bagi kehidupan bangsa dan negara. Bayangkan apa yang akan terjadi jika gubernur, bupati, kepala dinas, anggota dewan, profesor, doktor, dan kita semua yang tiba-tiba berserah diri kepada Allah di dalam pesawat mau melanjutkan sikap ini dalam kehidupan sehari-hari. Negara ini akan makmur mendadak, tidak ada lagi korupsi, semua akan dermawan, disiplin, rajin, spiritualis, produktif, dan patuh pada hukum.

Namun sayang, sikap ‘tunduk dan patuh’ atau ‘berserah diri’ kepada Allah ini tidak sustainable. Hanya muncul mendadak saat naik pesawat, lalu hilang ketika mendarat. Lihat saja kalau tidak percaya, pesawat belum berhenti sempurna, penumpang sudah melepaskan sabuk pengaman dan menghidupkan telepon genggam. Padahal awak kabin baru saja mengumumkan agar tetap menggunakan sabuk pengaman dan mematikan alat-alat elektronik sampai pesawat berhenti dengan sempurna. Dasar manusia. Sifat ingkar, angkuh, dan ke‘aku’an selalu muncul ketika merasa dirinya sudah aman. Kita lupa, bumi tempat kita menginjakkan kaki juga sebuah pesawat, benda langit tak berlandasan, melayang-layang di angkasa sejak ia tercipta. Suatu saat bumi ini akan kehilangan keseimbangan dalam sebuah turbulensi dahsyat yang disebut kiamat. Saat itulah bumi bertabrakan dengan benda-benda angkasa lainnya sebelum jatuh ke landasan alam semesta yang entah dimana.

Hakikatnya, kita semua adalah partikel kecil yang melayang-layang di angkasa Tuhan. Allah lah satu-satunya landasan tempat kita semua akan mendarat. Selama masih melayang-layang menunggu kematian, maka “pasrah”, “berserah diri”, atau “tunduk dan patuh” yang berkelanjutan kepada Allah (sustainable pasrah atau sustainable Islam atau Islam berkelanjutan) adalah satu-satunya pilihan agar hidup jadi benar, baik, dan indah.

Tulisan ini ditulis oleh Said Muniruddin pada tanggal 10 Desember 2010.***

Halaman:

Editor: Mamiq Alki


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x