Hasil Survei CPCS: Publik Setuju Jabatan Presiden Satu Periode Selama Tujuh Tahun

27 November 2020, 12:13 WIB
Hasil survei CPCS menunjukkan publik lebih setuju jika jabatan Presiden cukup satu periode saja selama tujuh tahun. /Dok. CPCS

WARTA LOMBOK – Center for Political Communication Studies (CPCS) melakukan survei terkait wacana penambahan masa jabatan Presiden menjadi tujuh tahun untuk 1 periode saja.

Survey dilakukan oleh Center for Political Communication Studies (CPCS) pada 11 hingga 20 November 2020, dengan jumlah responden sebanyak 1.200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia.

Survei dilakukan melalui sambungan telepon terhadap responden yang dipilih secara acak dari survei sebelumnya sejak 2019.

Baca Juga: Staf Khusus dan Sekretaris Pribadi Menteri KKP Edhy Prabowo Sukarela Menyerahkan Diri ke KPK

Dalam survei tersebut, terdapat "Margin of error" sebesar kurang lebih 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Hasil survei CPCS menunjukkan bahwa responden secara mayoritas menyetujui wacana jabatan Presiden cukup satu periode selama tujuh tahun.

"Mayoritas publik setuju perubahan ketentuan agar presiden menjabat cukup satu periode saja selama tujuh tahun," kata Direktur Eksekutif CPCS Tri Okta SK, dalam siaran pers di Jakarta pada Rabu, 25 November 2020 sebagaimana dikutip Warta Lombok.com dari Antara.

Okta menyebutkan sebanyak 86,3 persen responden setuju atas usulan perubahan masa jabatan Presiden tersebut, sementara 13,7 persen menyatakan tidak setuju.

Baca Juga: Gerhana Bulan Penumbra Terjadi 30 November 2020, Begini Penjelasan BMKG

Baca Juga: Fenomena Langit Akhir November 2020, Jangan Lewatkan Gerhana Bulan Penumbra

Ketentuan tentang masa jabatan presiden perlu untuk dicermati. Ketika zaman Orde Baru pernah ada amendemen terhadap UUD 1945 yang tidak membatasi periode presiden boleh menjabat sehingga Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun.

Lebih lanjut, Okta mengatakan kekuasaan Soeharto selama 32 tahun dianggap memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan korupsi.

Hal ini memunculkan adagium “power tends of corrupt” yang memantik desakan pelengseran Soeharto melalui gerakan reformasi yang menentang praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Arus demokratisasi menghasilkan desakan agar masa jabatan presiden dibatasi hanya boleh paling lama dua periode. Setelah itu tidak boleh lagi dicalonkan.

Baca Juga: Nikmati Gratis Ongkir Sepuasnya dan Cashback Kilat di Shopee Gajian Sale!

Sejak amandemen itu, Indonesia memiliki dua presiden yang menjabat dua periode berturut-turut, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).

Keinginan untuk meninjau kembali ketentuan tentang masa jabatan presiden tetap terbuka, sebagaimana tuntutan pendukung Jokowi yang menginginkan batasan dua periode dihapus, dan diganti menjadi tiga periode.

Hal itu bertujuan agar proses pembangunan berjalan maksimal dan tuntas sehingga Indonesia bisa menjadi Negara maju.

Namun demikian, Okta mengatakan kekhawatiran muncul dari kalangan yang tidak setuju. Sebab jika pemimpin terlalu lama berkuasa, akan muncul kecenderungan praktik otoritarianisme.

Baca Juga: Luhut Gantikan Edhy Prabowo Jadi Menteri KKP, Najwa Shihab: Menteri Segala Urusan

Okta mengatakan, jalan tengah yang bisa ditempuh adalah masa jabatan presiden dibatasi cukup satu periode saja tetapi lama periodenya diubah menjadi tujuh tahun.

Dengan demikian, Presiden bisa punya cukup waktu untuk menyelesaikan program-programnya. Lalu tidak disibukkan untuk memikirkan bagaimana caranya maju mencalonkan diri kembali.

Akan tetapi perdebatan tentang konsep periode masa jabatan presiden masih menjadi konsumsi publik secara terbatas.

Karena temuan survei itu hanya 17,6 persen publik yang mengetahui usulan perubahan masa jabatan presiden menjadi cukup satu periode saja selama tujuh tahun. Sementara 82,4 persen tidak tahu.

Baca Juga: Kasus Prostitusi Online Kembali Menjerat Selebriti, Polisi Ciduk Artis ST dan MA

Para elite politik, akademisi, dan tokoh bangsa diharapkan mempertimbangkan opini publik itu. Sekaligus membuka wacana tersebut seluas-luasnya agar publik mengetahui serta bersuara," tutup Okta.***

Editor: ElRia Shd

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler