Mengenal Imam Maturidi, Pelopor Madzhab yang Menggunakan Metode Moderat dan Jalan Tengah

- 27 Februari 2021, 11:00 WIB
Ilustrasi/ Sosok Imam Maturidi, pelopor madzhab Maturidiyah yang dikenal dengan metode at-Tawassuth (moderat dan mengambil jalan tengah).
Ilustrasi/ Sosok Imam Maturidi, pelopor madzhab Maturidiyah yang dikenal dengan metode at-Tawassuth (moderat dan mengambil jalan tengah). /Pixabay/Ahmed Sabry

WARTA LOMBOK - Salah satu madzhab akidah selain Asy’ariyah adalah Maturidiyah. Ajaran ini dinisbatkan kepada Abu Manshur al-Maturidi. Tokoh ini dilahirkan di Samarkand, Uzbekistan, pada tahun 248 Hijriah (862 Masehi).

Al-Maturidi ini merupakan penganut madzhab Hanafi dalam bidang Fikih. Riwayat pendidikannya, beliau belajar agama kepada Nasr bin Yahya al-Balkhi, Abu Bakar Muhammad al-Juzjani, dan Muhammad bin Muqatil ar-Razi.

Pemikiran al-Maturidi dalam bidang akidah merupakan pengembangan dan penafsiran lebih lanjut dari apa yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dalam tentang Ijma’ Ulama, Berikut Penjelasannya

Tidak jauh berbeda dengan al-Asy’ari, al-Maturidi ini juga meladeni perdebatan dengan tokoh-tokoh Muktazilah di Samarkand, seperti al-Ka’bi dan al- Bahili. Selain Muktazilah, al-Maturidi juga meladeni debat dengan golongan al-Mujassimah.

Dalam menjelaskan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah-nya, al-Maturidi merilis kitab berjudul at-Tauhid dan Ta’wilat al-Qur’an. Kedua kitab tersebut merupakan rujukan paling penting dalam madzhab Maturidiyah.

Metode yang digunakan oleh al-Maturidi dalam membangun madzhabnya agak berbeda dengan al- Asy’ari, tapi sama-sama menjembatani antara naqal dan akal. Perbedaan keduanya, salah satunya dalam metode dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat.

Al-Asy’ari menggunakan metode tafwidh, sementara al-Maturidi menggunakan metode ta’wil. Kesamaan keduanya adalah dalam memandang Allah memiliki sifat-sifat yang wajib ada bagi Allah, yakni 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat jaiz.

Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 Hijriah (944 Masehi) setelah berjasa memformulasikan dan membela ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Pandangan dan teologinya kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya.

Baca Juga: Dasar Hukum Qiyash dan Rukunnya, Berikut Penjelasannya

Pada umumnya, murid-murid dan penerus madzhabnya berasal dari kalangan madzhab Hanafi dalam bidang Fikih. Sebagaimana al-Asy’ari, sebagai imam Ahlussunnah wal Jama’ah, al-Maturidi juga menggunakan metode dan sikap at-tawassuth (moderat dan jalan tengah).

Dr. Ali Abdul Fatah al-Maghribi mengatakan bahwa sikap fundamental metodologi al-Maturidi adalah tawassuth (moderatif) antara an-naqli dan al-‘aqli.

Al-Maturidi menganggap suatu kesalahan apabila kita berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (naql), seperti halnya kesalahan jika kita larut tidak terkendali dalam menggunakan nalar (‘aql) saja.

Sikap yang adil adalah tawassuth antara keduanya (naql dan ‘aql). Sikap moderatif demikian ini memiliki dasar dalam agama, yakni firman Allah QS. Al-Baqarah:143.

Apabila dibandingkan antara al-Maturidi dengan al-Asy’ari dalam penggunaan akal sebagai dasar dan dalil untuk menemukan kebenaran, maka al-Maturidi lebih luas penggunaan dalil aqlinya dibandingkan dengan al-Asy’ari.

Hal itu mungkin juga dipengaruhi oleh visi dan wacana madzhab fikih masing-masing yakni al-Maturidi yang pengikut madzhab Hanafi yang dikenal sebagai tokoh madzhab ahlu ar-ra’yi dalam fikih.

Baca Juga: Berikut Definisi Istilah Ulama serta Bentuk Syarat Ijtihadnya

Sedangkan al-Asy’ari penganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pandangan yang moderatif antara madzhab ahlu ar-ra’yi dan madzhab ahlu al-hadits-nya imam Malik dan Ibnu Hambal, yang sangat membatasi penggunaan dalil aqli, dan lebih terikat dengan supremasi dalil-dalil naqli.

Tetapi apabila dibandingkan dengan al-Juwaini, maka pengikut al-Asy’ari tidak ada bedanya.

Menurut al-Maturidi, sesungguhnya Allah mengulang-ulang peranan akal dalam ayat-ayat tersebut degan berbagai macam tingkatan, yakni mulai dari “berpikir” sampai “mendapat petunjuk” adalah karena dengan berpikir, orang dapat belajar dan memahami.

Kemudian dengan ilmu dan pemahaman orang dapat memperluas wawasan, serta dapat memperkaya pengalaman dan penalaran, dan mengetahui semua itu sebagai anugerah yang tidak ternilai dan harus disyukuri.

Sikap kritis dan kembali pada jati diri sebagai hamba Allah yang bersyukur, memberikannya jalan untuk memperoleh petunjuk dari Allah Kondisi objektif lingkungan yang dihadapi al- Maturidi, merupakan dimensi waktu dan tempat yang mempengaruhi pandangan dan sikap intelektualnya.

Baca Juga: Kesalahan Seputar Ibadah Jumat yang Sering Dilakukan

Dimasa itu, al-Maturidi hidup ditempat dimana masalah teologi menjadi isu kajian keagamaan yang sentral, disamping masalah tasawwuf dan fikih.

Al-Maturidi mengatakan bahwa “esensi akal untuk melengkapi dalil atau hujjah agama, membuat analisa kemudian mengkontruksikan dalil-dalil tersebut untuk membuktikan kebenaran agama, dan membela keyakinan agama dari orang-orang yang mengingkari atau menyalahi keyakinan tersebut.***

Editor: Herry Iswandi

Sumber: Buku Konsep Mayoritas Ahlussunnah wal Jamaah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x