Transformasi KUA: Harmonisasi Layanan Lintas Agama dan Perspektif Moderasi Beragama

- 14 Maret 2024, 20:27 WIB
Nanang Hasan Susanto (Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan)
Nanang Hasan Susanto (Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan) /Kementrian Agama

WARTA LOMBOK- Kementerian Agama sedang menggulirkan wacana untuk meningkatkan peran Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai layanan lintas agama, termasuk dalam pencatatan pernikahan. Namun, secara formal, ide pencatatan pernikahan lintas agama masih menghadapi hambatan dari regulasi yang berlaku saat ini.

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan penjelasannya, menetapkan bahwa pencatatan perkawinan dilakukan di hadapan "pegawai yang sah", yaitu penghulu untuk penganut Islam dan pegawai pencatatan sipil untuk non-muslim.

Di samping itu, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 2020 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di Provinsi dan Kabupaten Kota menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan non-muslim menjadi tugas dan tanggung jawab Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), khususnya dalam Bidang Fasilitasi Pencatatan Sipil.

Baca Juga: Ada Program Kuliah Zuhur di Masjid Al-Ikhlas Kemenag Selama Ramadan, Telusuri Makna Al-Quran dan Hadis

Meskipun terdapat kendala-kendala tersebut, konsep pencatatan pernikahan terintegrasi di KUA memiliki argumentasi yang kuat. Sebagaimana yang sering ditekankan oleh Gus Men Yaqut Cholil Qoumas, dari segi penamaan, KUA seharusnya melayani semua agama, tidak hanya satu agama tertentu. Selain itu, dengan adanya pencatatan nikah yang terintegrasi di bawah satu lembaga, akan memudahkan dalam pendataan.

Selain alasan-alasan tersebut, penting untuk mengeksplorasi wacana layanan nikah terintegrasi di KUA dari perspektif moderasi beragama (MB). Dalam konteks ini, penyatuan layanan nikah di KUA dapat menjadi simbol dari pendekatan yang moderat terhadap agama.

Ini karena pendekatan ini memperlakukan semua agama dengan adil dan merata, tanpa membedakan satu agama dengan agama lainnya. Dengan demikian, inisiatif ini tidak hanya menciptakan efisiensi administratif tetapi juga mencerminkan semangat toleransi dan penghargaan terhadap pluralitas agama di Indonesia.

Baca Juga: Program Berbagi Takjil: Kemenag Sampaikan Pesan Ramadan untuk Semua
Salah satu semangat Moderasi Beragama (MB) adalah mempromosikan toleransi, persamaan, harmoni, penghormatan terhadap perbedaan, dan nilai-nilai universal lainnya. Membedakan layanan keagamaan dapat mengancam penyebaran nilai-nilai universal tersebut. Jika KUA bertujuan untuk melayani kegiatan keagamaan, pelayanan yang disediakan seharusnya tidak hanya untuk satu agama tertentu, tetapi untuk semua agama yang ada di Indonesia.

Namun, persoalannya adalah fungsi KUA telah lama menjadi konstruksi sosial di masyarakat Indonesia, terutama di kalangan muslim, yang hanya melayani agama tertentu. Praktik ini telah berlangsung lama dan sulit untuk diubah.

Hal ini mirip dengan tantangan dalam memperkuat Moderasi Beragama. Konstruksi sosial sebagian masyarakat yang telah lama memahami agama sebagai doktrin kaku, terikat pada aspek identitas dan primordial yang sempit, tidak mudah berubah dalam waktu singkat.

Meskipun Moderasi Beragama menawarkan aspek yang sangat rasional dan sesuai dengan akal sehat, yaitu bahwa esensi agama mengadvokasi nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, kemaslahatan umum, dan keadilan, perubahan pandangan keagamaan masyarakat tidaklah mudah.

Baca Juga: PJ Bupati Lombok Timur Terima Kunjungan Dewan Pertimbangan Presiden

Teori cultural lag oleh William Fielding Ogburn menjelaskan bahwa keyakinan, nilai, dan praktik yang telah tertanam lama dalam masyarakat cenderung bertahan dan sulit diubah. Dalam konteks agama, pandangan keagamaan lama masyarakat sulit diubah karena keterikatan yang kuat dengan tradisi dan norma yang telah ada.

Sebagai sebuah negara multikultural, khususnya dalam aspek agama dan kepercayaan, Indonesia harus mampu menumbuhkan sikap toleransi serta memberikan perlakuan yang sama terhadap perbedaan. Jika tidak, keragaman agama dapat menjadi bahaya laten bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

John Locke, seorang filsuf abad ke-17, dalam karyanya yang terkenal "A Letter Concerning Toleration" menyatakan bahwa semua agama harus diperlakukan sama oleh negara. Locke menegaskan bahwa negara harus netral, tidak boleh memihak atau mendiskriminasi satu agama atas yang lainnya.


Ide Kementerian Agama untuk mengubah KUA menjadi tempat pelayanan bagi semua agama layak diapresiasi sebagai langkah pemerintah untuk memastikan perlakuan yang setara dan non-diskriminatif terhadap semua agama.

Baca Juga: Inilah Sosok Paul Alexander Si Paru-paru Besi yang Meninggal di Usia 78 Tahun

Dalam konteks Moderasi Beragama (MB), konsep ini sederhana dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Namun, dalam praktiknya, ide ini menghadapi hambatan yang signifikan karena bertentangan dengan konstruksi sosial yang telah tertanam kuat.

Tantangan ini tidak hanya terkait dengan mentalitas masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan infrastruktur dan sumber daya manusia yang mendukung. Meskipun demikian, upaya untuk mendorong ide ini harus terus dilakukan, terutama oleh mereka yang memperjuangkan penguatan MB.

Penguatan MB tidak bisa hanya bergantung pada pelatihan; langkah-langkah strategis diperlukan untuk mengubah struktur sosial demi menciptakan keadilan, toleransi, dan saling percaya di antara pemeluk agama.

Salah satu cara untuk mengubah struktur sosial adalah dengan mengubah peran KUA menjadi tempat pelayanan bagi semua agama, termasuk pencatatan pernikahan. Struktur sosial merupakan faktor penting dalam membentuk konstruksi sosial, dan penguatan MB harus memperhatikan upaya mengubah struktur sosial menuju toleransi, kemanusiaan, dan keadilan.

Baca Juga: Terlihat Bak Sang Dewi, An Yujin IVE Tampil Elegan Saat Pemotretan dengan FENDI

Jika struktur sosial mendukung toleransi, konstruksi sosial yang ada akan mengikuti. Biasanya, budaya atau agama mayoritas cenderung superior dan hegemonik terhadap minoritas. Hal ini seringkali didukung oleh struktur sosial yang menguntungkan mayoritas dan lembaga-lembaga yang mengukuhkan dominasi mayoritas.

Di Indonesia, dinamika mayoritas-minoritas lebih kompleks karena agama tertentu dapat menjadi mayoritas di satu wilayah dan minoritas di wilayah lain. Dalam konteks ini, ide menjadikan KUA sebagai tempat pelayanan bagi semua agama dapat membantu menciptakan regulasi dan struktur sosial yang mendukung harmoni.

Meskipun regulasi yang ada tidak menjadi hambatan yang tidak bisa diatasi, perubahan tersebut memerlukan alasan yang rasional, dukungan masyarakat, dan kajian yang matang untuk menjaga kerukunan dan harmoni di Indonesia.***

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Kementrian Agama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah