Menyoal Keterwakilan Perempuan dalam Penyelenggara Pemilu

6 Juni 2023, 12:19 WIB
Haliliah, M. Pd., salah satu komisioner Panwaslu Kecamatan Pringgasela /Dok. Warta Lombok/Haliliah

Oleh: Haliliah, M. Pd. (Ketua Panwaslu Kecamatan Pringgasela)

WARTA LOMBOK - Sejak disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat (1) menyatakan: ‟Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”, sampai saat ini belum bisa terpenuhi karena berbagai faktor salah satunya adalah masih melekatnya budaya masyarakat yang patriarki dengan mendahulukan memilih laki-laki daripada perempuan dan politik maskulin.

Hal yang tidak jauh berbeda dengan penyelenggara pemil seperti KPU dan Bawaslu, keterwakilan perempuan masih jauh dari harapan padahal Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengamanatkan bahwa komposisi KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Baca Juga: Polemik Sistem Pemilu dan Demam Lato-Lato

Budaya masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak dapat mengambil keputusannya sendiri karena dalam banyak hal perempuan harus meminta persetujuan laki-laki sebagai pasangan atau orang tuanya sehingga perempuan dianggap tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Dalam bidang politik dan pemerintahan, berasal dari budaya patriarki di masyarakat, perempuan dipandang tidak pantas dipilih dalam jabatan tertentu, karena politik dan pemerintahan lebih cocok dengan dunia laki-laki.

Dari budaya tersebut, laki-laki cenderung ditempatkan pada posisi-posisi di luar rumah (publik), sedangkan perempuan ditempatkan dalam posisi-posisi domestik. Konstruksi pemikiran seperti inilah yang muncul karena adanya stereotype gender, sehingga menimbulkan keyakinan mengenai perilaku yang tepat untuk dilaksanakan perempuan atau laki-laki.

Baca Juga: Musuh Dalam Selimut! Inilah Biodata Kim Seo Yeon Pemain Cheon Mu Young di Drama Tale of the Nine Tailed S2

Faktor lain yang menjadi penyebab rendahnya keterwakilan perempuan dalam penyelenggara pemilu adalah faktor regulasi, dimana menganggap faktor pengalaman sebagai penyelenggara pemilu sebagai indikator kualitas dan kredibiltas peserta perempuan yang ikut seleksi, ini jadi seperti ada diskriminasi karena belum diuji walapun berpendidikan S2 dan memiliki pengalaman berorganisasi yang mumpuni.

Faktor inilah yang kami prediksi menyebabkan komposisi komisioner bawaslu Lombok Timur periode 2018-2023 dan juga 7 dari 25 Provinsi tidak memiliki keterwakilan perempuan pada bawaslunya periode 2022-2027. Ini sangat disayangkan karena demokrasi sejatinya adalah partisipasi dan kesetaraan, menunjukkan secara tegas bahwa perempuan mesti hadir dan berperan yang tidak hanya dalam posisi sebagai pemilih tetapi juga terlibat sebagai penyelenggara pemilu.

Baca Juga: Megawati Putuskan Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden RI dari PDI Perjuangan untuk Pemilu Tahun 2024

Untuk menyikapi faktor-faktor penyebab tersebut, salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh kaum perempuan adaah dengan meningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam bidang kepemiluan dengan melibatkan diri pada penyelenggaraan pemilu mulai dari level terkecil, misalnya menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kelurahan/Desa, tingkat Kecamatan, panitia pemungutan suara, kelompok penyelenggara pemungutan suara, dan lain-lain.***

Editor: Mamiq Alki

Tags

Terkini

Terpopuler