SATU ABAD NU : Perspektif Pembelajar

- 7 Februari 2023, 08:10 WIB
Ilustrasi satu abad NU.
Ilustrasi satu abad NU. /nu.or.id

Oleh: Salman Faris (Dosen UPSI Malaysia)

WARTA LOMBOK - Saya tidak dapat membayangkan, NU akan tumbuh dan berkembang secemerlang saat ini jika pendiri NU bersikukuh yang, NU harus dibesarkan oleh para keturunan lalu murid hanya dijadikan pengikut untuk selamanya, tanpa diberikan peluang yang sama seluas siapa saja yang berada di bawah payung NU. Lantas apa yang membuat NU dapat berkembang dalam kedigdayaan kemajuan seperti sekarang ini?

Tentu amat banyak faktor. Akan tetapi, hanya beberapa yang sesuai dengan konteks tulisan ini yang perlu disinggung. Ada budaya berbagi sama rata podo roso sekaligus pengakuan dan penghargaan peran besar untuk masing-masing tokoh bahkan bukan tokoh utama dalam NU. Meskipun catatan sejarah tidak dapat ditampik yang, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) merupakan ulama kunci pendirian NU, akan tetapi proses dan cikal bakal jiwa pendirian NU tidak diketepikan.

Peran KH Abdul Wahab Chasbullah (Mbah Wahab), misalnya, tertulis dengan jelas dan teratur dalam literatur NU. Penghormatan, pengakuan, dan penghargaan yang sama pun diberikan kepada kedua tokoh kunci tersebut. Begitu juga kepada tokoh pendiri NU yang lain, seperti KH Bisri Syansuri, KH Mas Alwi bin Abdul Aziz, KH A. Dachlan Achjad, KH Ridwan Abdullah dan yang lain.

Baca Juga: Berdampak Rintangan Pada Penyidikan Kasus Besar, NU: Jika Mereka Dipecat, Penyidikan Korupsi Terhenti

Bahkan peran Syaikhona Muhammad Kholil (Mbah Kholil) Bangkalan sebagai perestu pendirian NU, tidak terhapus dalam literatur dan ingatan semua jamaah NU. Nampak Jelas, ada tokoh utama dalam pendirian NU, namun ada tokoh penting lainnya yang dicatatkan juga berperan besar. Dan setiap peran berkedudukan dalam penghargaan dan penghormatan setara. Tak ada Kiai yang merasa paling memiliki dan merasa paling berhak terhadap NU.

Budaya tersebut di atas, telah mengakar dan membentuk satu sistem kultural sekaligus struktural. Pada tataran kultural, semua jamaah NU memberikan penghormatan dan tempat khusus kepada Mbah Hasyim dan keturunannya sekaligus dipersembahkan kepada tokoh yang lain dalam kadar yang sama. Hal yang serupa terjadi di tataran struktural, di mana tidak berlaku faham yang wajib mengarusutamakan keturunan pendiri NU sebagai PBNU. Tegasnya, tidak mesti keturunan Mbah Hasyim menjadi pemimpin seperti halnya keturunan tokoh pendiri yang lain. Semua tokoh terbaik mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pemimpin tertinggi NU tanpa mempersoalkan keturunan sebagai darah biru NU atau pun bukan.

Jika pun keturunan pendiri NU dicalonkan menjadi pimpinan, mestilah melalui mekanisme dan proses yang sudah ditentukan organisasi. Tidak ada karpet merah digelar berlandaskan doktrin dengarkan dan taati. Petik sebagai contoh ialah terpilihnya Gus Dur sebagai PBNU tahun 1984 pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Meskipun keturunan langsung Mbah Hasyim, Gus Dur melangkah amat tidak mudah. Pergesekan terjadi antara kelompok yang pro Gus Dur dengan PBNU petahana pada masa itu yakni KH Idham Chalid. Pertindihan pandangan yang tak kalah sengit terjadi juga pada Muktamar ke-28 pada tahun 1989 di Yogyakarta. Kali ini, malah Kiai As’ad yang semula pendukung utama Gus Dur memilih laluan berseberangan.

Baca Juga: Super Gampang! Berikut Resep Telur Goreng Kecap Enak dan Sederhana

Halaman:

Editor: Mamiq Alki


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah