Tasawuf, Menyederhanakan Cara Beragama

- 1 Juni 2023, 18:18 WIB
Said Muniruddin
Said Muniruddin /Dok. Warta Lombok/Said Muniruddin

Pada periode ini, patokan kebenaran sudah pada teks dan riwayat yang dipegang masing-masing. Bukan lagi pada diskusi langsung (laduniah) dengan Tuhan. Definisi kecerdasan sudah mulai berubah. Dari yang awalnya pada masa Nabi cerdas itu dipahami sebagai “ahlullah” (orang yang mengenal dan akrab dengan Allah), sudah berubah menjadi “ahli kitab” (orang yang banyak menghafal dalil kitab).

Pada masa Nabi, cerdas itu aspeknya ada pada “Ruhani”. Yaitu ruhaninya terkoneksi dengan Allah. Qalbunya hidup. Pada masa kemudian, cerdas itu “otak”. Yaitu otak yang mampu menyimpan banyak memori. Padahal, karamah dan mukjizat menjadi bukti kebenaran Quran. Dan itu terletak pada kecerdasan Ruhani. Bukan pada ketinggian ilmu kognisi.

Kita tidak menolak agama yang telah di derivasi dalam jutaan kitab dan buku. Itu bagian dari khazanah perkembangan agama dan peradaban Islam. Peradaban disusun atas dasar kajian demi kajian. Buku demi buku. Kitab demi kitab. Pemikiran demi pemikiran. Regulasi demi regulasi lahir dalam Islam untuk menjelaskan berbagai hal, untuk membuat aturan tambahan terkait interaksi manusia dengan manusia, dengan alam dan Tuhan. Islam pada kadar tertentu telah jauh menjadi sebuah sistem ideologi (pemikiran).

Namun, jangan lupa, agama bukan itu semua. Itu hanya “asesoris” untuk mempercantik bangunan agama. Agama yang asli, itu adalah “Allah”, cara berhubungan dengan Allah; yang bisa dijangkau oleh orang bodoh sekalipun; tanpa harus sekalipun membuka kitab suci dan timbunan buku karya ulama.

Agama yang sesungguhnya adalah metodologi (tariqah) untuk menjangkau Allah, yang dapat ditempuh dengan cara paling ‘primitif’ (sederhana). Bahwa sejak jaman kuno, Allah sudah bisa dijumpai oleh banyak orang, dengan cara paling simple, tanpa perlu sekolah dan membaca. Cukup hanya tau cara “membaca” (iqrak) Namanya, yaitu dengan cara menzikirkan “ismu rabbik” secara benar (QS. Al-‘Alaq: 1) Dia akan menampakkan diri-Nya kepada Anda.

Penutup

Itulah tasawuf yang asli. Ketika ilmu tauhid dan fikih membawa Anda kepada kajian yang panjang lebar tentang pemahaman teologis dan teknis beragama, tasawuf mencoba menyederhanakan kembali itu semua dalam format paling sederhana. Bahwa Allah bisa dijangkau dengan cara paling simple. Dengan cara duduk diam, dengan mata terpejam, dengan bacaan sederhana, dengan menyebut satu Nama, dengan jiwa yang tenang. Sebodoh-sebodoh orang, pasti mampu mengamalkan itu semua.

Sekilas, setelah menyimak ulasan ini, bertasawuf itu terkesan mudah. Sebab diajak kepada hal-hal sederhana. Kenyataannya tidak. Sangat sulit untuk kembali menjadi ‘bodoh’ (ummi) setelah sekian lama kita merasa pintar. Karena itulah selalu dikatakan, musuh terbesar manusia adalah “ego” (dirinya sendiri). Mujahadah atau perang terbesar adalah melawan “rasa pintar” yang ada dalam diri kita. Ilmu, dengan berbagai persepsi yang telah dibangunnya, adalah hijab. Sebuah kejahilan, atau tirai penghalang, yang menyebabkan Allah enggan untuk menampakkan diri-Nya kepada kita. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.***

Halaman:

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Web Said Muniruddin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x