Tasawuf, Menyederhanakan Cara Beragama

- 1 Juni 2023, 18:18 WIB
Said Muniruddin
Said Muniruddin /Dok. Warta Lombok/Said Muniruddin

Bayangkan, kaum “ummi” saja bisa makrifat. Bisa mengenal dan berjumpa dengan Allah. Lalu kenapa kita yang sudah jadi ulama, sudah jadi profesor doktor, sudah menulis diberbagai jurnal internasional, sudah mengaji puluhan atau mungkin ratusan kitab; tidak pernah bertemu dan berbicara dengan Allah. Apa masalahnya?

Baca Juga: Tak Boleh Dilewatkan! Inilah Khasiat dan Manfaat Coklat Bagi Kesehatan Tubuh

Masalahnya adalah, “kecerdasan” merupakan penghalang (hijab) untuk menuju Tuhan. Orang yang paling sulit makrifat adalah orang berilmu. Dalam otak kita sudah terlalu banyak bacaan dan persepsi. Sehingga sulit bagi kita untuk menerima Allah yang asli, yang sederhana. Allah tidak akan hadir, kecuali kepada kaum yang “ummi”. Dia hanya akan mengisi gelas yang “kosong”, hati dan pikiran yang bersih. Subhana rabbika rabbil ‘izzati ‘amma yashifun. “Maha suci Tuhan-mu, Tuhan yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan” (QS. As-Shaffat: 180).

Karenanya, teknik bermakrifat kepada Allah sangat sederhana. Kosongkan dirimu. “Ummi”-kan intelektualitasmu. Buang referensimu. Jangan banyak kali lihat kiri kanan. Jangan banyak kali analisis. Jangan banyak kali bertanya. Tongkatkan lidah ke langit-langit. Pejamkan mata. Matikan pikiran. Rileks! Tuhan akan hadir untuk berbicara, dalam berbagai bahasa dan kehadiran. Mulai dalam wujud muraqabah, yaqazah dan berbagai model “tanazzul” rasa dan Dzat. Bahkan sampai engkau benar-benar bisa merasakan dan melihat Wajah-Nya.

Islam sebagai agama akhirat, itu sederhana. Tidak butuh sekolah. Tidak perlu menghafal. Tidak perlu kecerdasan. Tidak perlu belajar berlebihan. Cukup patuh saja pada orang yang akan membawa kita kepada Allah. Itulah yang dibimbing Khidir as kepada Musa as. Cukup jadi orang bodoh saja. Yakin dengan Guru. Patuh. Amalkan apa yang disuruh. Jangan banyak kali protes. Diujung itu, Anda akan sampai dan bertemu Tuhan.

Berislam pada awal masa kenabian juga begitu. Cukup hanya dengan yakin kepada Muhammad SAW, lalu istiqamah melaksanakan amalan zikir yang ditalqinkan kepada mereka; 40 hari kemudian mereka mulai mengalami kuantum spiritual. Mereka mulai berjumpa malaikat dan pengalaman mistis unik lainnya. Allah menjadi begitu nyata bagi mereka (QS. As-Shaffat: 30).

Tidak ada amalan dan edukasi agama yang berat-berat pada masa awal Islam. Cuma zikir-zikir doang. Perintah sholat pun katanya belum turun. Pun tidak ada yang hafal Quran 30 juz. Karena Quran saja baru turun sepotong-potong. Itupun hanya satu dua orang saja yang nulis. Tapi, itulah Islam terbaik. Islam paling sederhana. Dalam kesederhanaan itu mereka bisa akrab dengan Allah dan para malaikat-Nya. Karena itulah mereka bisa terus memenangkan perang.

Baca Juga: Ketum Himmah NW Dukung Prof. Masnun Menjadi Pj Gubernur NTB, Beliau Sosok yang Pas Jawab Permasalahan NTB

Lahirnya Islam yang Rumit

Islam itu baru rumit dan dibuat menjadi rumit setelah periode nabi dan kekhalifahan. Mulai lahir kajian ilmu dan pengelompokan pengetahuan. Lahir madrasah dan berbagai sekolah. Lalu saling berdebat. Para pengikutnya saling klaim sebagai mazhab terbaik.

Halaman:

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Web Said Muniruddin


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x