Jangan Terjebak! 6 Kebiasaan ini Bisa Membuat Seorang Mukmin Masuk Perangkap Riya Menurut Imam Al-Ghazali

26 Januari 2022, 05:25 WIB
Ilustrasi/Riya bisa menjebak seorang mukmin pada enam tempat menurut Imam al-Ghazali. /PIXABAY/helya

WARTA LOMBOK - Menghindar dari jebakan riya atau pamer amal ibadah bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Orang yang melawan jebakan riya sejatinya sedang berperang melawan dorongan dari dalam diri sendiri.

Satu energi besar yang bercampur baur, sukar dipisahkan antara positif dan negatifnya.

Baca Juga: Inilah Lima Keutamaan Bagi Seorang Muslim yang Berwudhu Sebelum Tidur

Persis seperti orang yang sedang menjalani misi besar yang harus melewati hutan penuh ranjau.

Satu sisi, ia dituntut untuk terus berjalan, tak boleh berhenti apalagi kembali. Di sisi lain, ia seolah didorong mundur oleh sekian banyak ranjau yang tersembunyi.

Demikian halnya ibadah. Jebakan riya sangat banyak. Belum lagi perangkap kesombongan, gila popularitas (sum’ah), cari perhatian (tamalluq), dan semisalnya. Tetapi, hal itu bukan alasan untuk menghentikan ibadah.

Ibadah harus tetap dijalankan perlahan seraya membenahinya secara bertaha, untuk pembenahan ini, perlu kiranya mengenal dari mana saja potensi riya dapat muncul.

Baca Juga: Wajib Tahu! Inilah Empat Tanda-Tanda Kiamat yang Sudah Terjadi

Bukankah absurd berhasil membersihkan diri dari sesuatu yang tak dikenal akar pangkalnya? Imam al-Ghazali berkata:

                                                                                              فمن لا يعرف الشر ومواقعه لا يمكنه أن يتقيه

Artinya, “Buta dari mengenal seluk-beluk benalu amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya.” (Abu Hamid al-Ghazali, Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102). 

Dalam Kitab al-Arba’in halaman 100-101 Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) menjelaskan secara rinci 6 tempat yang sangat berpotensi menumbuhkan riya.

Pertama, dalam bentuk badan dan raut muka. Al-Ghazali menyebut beberapa contoh terkait ini.

Seperti ‘menampakkan’ badan yang kerempeng dan lemah misalnya, agar orang-orang melihatnya tampak seperti seorang ahli ibadah, ahli riyadhah, puasa, dan semisalnya.

Baca Juga: Wajib Tahu! Inilah Keutamaan dan Kemuliaan Orang yang Bekerja Keras Mencari Nafkah Untuk Keluarga

Termasuk juga memperlihatkan raut muka sedih, supaya terlihat seperti orang yang punya pengamatan mendalam ihwal kehidupan dan kehinaan dunia. Semua itu bagian dari riya yang diwanti-wanti al-Ghazali.

Kedua, dalam penampilan. Contoh kecil, seperti mencukur kumis agar terlihat lebih menawan dan mempesona sehingga banyak orang terpukau.

Menundukkan kepala saat berjalan, bergerak dan melangkah secar elegan supaya tampak lebih berwibawa.

Menampakkan bekas sujud di dahi agar tidak diragukan kualitas sujudnya, dan hal-hal serupa.

Ketiga, dalam style pakaian. Seperti mengenakan pakaian lengan panjang dengan lengan baju yang terlipat, tiada tujuan lain kecuali agar terlihat lebih keren, misalnya.

Baca Juga: Wajib Tahu! Inilah Lima Jenis-Jenis Setan yang Perlu Diwaspadai

Berbaju lusuh dengan beberapa tambalan juga termasuk salah satunya, bila tujuannya agar terlihat sebagai seorang sufi besar lagi bersahaja.

Keempat, riya dengan ucapan. Hal ini termasuk yang kerapkali menjebak para dai. Jadi, sebaiknya berhati-hati. Karena, orang alim pun tidak terlepas dari penyakit riya.

Wajar saja bila baginda Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadist riwayat Mu’âdz bin Jabal, Min fitnatil âlim, an yakunal kalam ahabba ilaihi min al-istima’.

“Termasuk ujian besar seorang alim, yaitu ketika ia lebih suka berbicara daripada mendengar”. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulumuddin, juz I, halaman 62).

Kelima, riya dalam perbuatan. Seperti memperlama rukuk dan sujud, misalnya, sedekah, puasa, haji, dan lain sebagainya.

Semua itu sangat potensial untuk memunculkan riya. Bahkan, gerak-gerik tubuh kita pun ketika melenceng dari niat luhur kerapkali terjerumus dalam penyakit hati ini.

Baca Juga: Empat Cara Memperbaiki Diri Menurut Imam Al-Ghazali

Keenam, riya juga bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, dan guru yang bisa dipamerkan.

Seperti orang yang sering berkunjung kepada para gurunya, sehingga ia memiliki branding diri yang baik di mata umat: misalnya dekat dengan orang alim, sering bertabaruk, dan seterusnya.

Sebagai hamba Allah, tentu orang tak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun.

Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustadz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya.***

Editor: Herry Iswandi

Sumber: nu.or.id

Tags

Terkini

Terpopuler