Transformasi KUA: Harmonisasi Layanan Lintas Agama dan Perspektif Moderasi Beragama

- 14 Maret 2024, 20:27 WIB
Nanang Hasan Susanto (Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan)
Nanang Hasan Susanto (Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan) /Kementrian Agama

Namun, persoalannya adalah fungsi KUA telah lama menjadi konstruksi sosial di masyarakat Indonesia, terutama di kalangan muslim, yang hanya melayani agama tertentu. Praktik ini telah berlangsung lama dan sulit untuk diubah.

Hal ini mirip dengan tantangan dalam memperkuat Moderasi Beragama. Konstruksi sosial sebagian masyarakat yang telah lama memahami agama sebagai doktrin kaku, terikat pada aspek identitas dan primordial yang sempit, tidak mudah berubah dalam waktu singkat.

Meskipun Moderasi Beragama menawarkan aspek yang sangat rasional dan sesuai dengan akal sehat, yaitu bahwa esensi agama mengadvokasi nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, kemaslahatan umum, dan keadilan, perubahan pandangan keagamaan masyarakat tidaklah mudah.

Baca Juga: PJ Bupati Lombok Timur Terima Kunjungan Dewan Pertimbangan Presiden

Teori cultural lag oleh William Fielding Ogburn menjelaskan bahwa keyakinan, nilai, dan praktik yang telah tertanam lama dalam masyarakat cenderung bertahan dan sulit diubah. Dalam konteks agama, pandangan keagamaan lama masyarakat sulit diubah karena keterikatan yang kuat dengan tradisi dan norma yang telah ada.

Sebagai sebuah negara multikultural, khususnya dalam aspek agama dan kepercayaan, Indonesia harus mampu menumbuhkan sikap toleransi serta memberikan perlakuan yang sama terhadap perbedaan. Jika tidak, keragaman agama dapat menjadi bahaya laten bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

John Locke, seorang filsuf abad ke-17, dalam karyanya yang terkenal "A Letter Concerning Toleration" menyatakan bahwa semua agama harus diperlakukan sama oleh negara. Locke menegaskan bahwa negara harus netral, tidak boleh memihak atau mendiskriminasi satu agama atas yang lainnya.


Ide Kementerian Agama untuk mengubah KUA menjadi tempat pelayanan bagi semua agama layak diapresiasi sebagai langkah pemerintah untuk memastikan perlakuan yang setara dan non-diskriminatif terhadap semua agama.

Baca Juga: Inilah Sosok Paul Alexander Si Paru-paru Besi yang Meninggal di Usia 78 Tahun

Dalam konteks Moderasi Beragama (MB), konsep ini sederhana dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Namun, dalam praktiknya, ide ini menghadapi hambatan yang signifikan karena bertentangan dengan konstruksi sosial yang telah tertanam kuat.

Halaman:

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Kementrian Agama


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah