Polemik Sistem Pemilu dan Demam Lato-Lato

16 Februari 2023, 08:43 WIB
Ilyas Yasin Dosen STKIP Yapis Dompu/Anggota Dewan Pakar MD KAHMI Dompu /Dok. Warta Lombok/KAHMI Dompu

Oleh : Ilyas Yasin
Dosen STKIP Yapis Dompu/Anggota Dewan Pakar MD KAHMI Dompu

WARTA LOMBOK - Pagi ini saya akan menjadi salah satu pembicara dalam Diskusi Publik yang digelar oleh MD KAHMI Dompu dalam rangka Milad HMI ke-76.

Temanya agak provokatif "Sistem Pemilu Untuk Kepentingan Siapa?". Diskusi ini untuk merespons gugatan ke MK yang diajukan sekelompok orang, termasuk kader PDI-P, soal perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup.

Baca Juga: Berikut 5 Manfaat dan Khasiat Buah Pisang Bagi Kesehatan yang Perlu Anda Ketahui

Para pemohon berargumen bahwa sistem proporsional terbuka mengakibatkan ongkos politik sangat mahal. Bahkan menyuburkan politik transaksional.

Empat narsum lain diskusi ini adalah Ketua KPU Provinsi NTB, Ketua KPUD Dompu, Ketua Bawaslu Dompu dan Sekjen KAHMI Dompu bang Suherman.

Delapan partai sudah resmi menyatakan menolak gagasan kembali ke proporsional tertutup karena dianggap sebagai kemunduran demokrasi. Sedangkan pihak PDI-P mengisyaratkan condong ke proporsional tertutup.

Baca Juga: Inilah 5 Khasiat dan Manfaat Buah Srikaya untuk Kesehatan Tubuh

Banyak yang bersorak atas sikap penolakan delapan tersebut. Tetapi saya melihat gegap gempita penolakan itu tak ubahnya dengan demam permainan lato-lato saat ini. Menimbulkan kemeriahan bahkan kebisingan sesaat lalu senyap tanpa makna. Belum ada gagasan yang benar-benar serius bagaimana keluar dari jebakan sistem Pemilu ini.

Waktu zaman proporsional tertutup publik mengeluhkan bagai membeli kucing dalam karung, karena calon ditentukan oleh partai.

Publik tidak diberi kesempatan untuk mengenal para calon secara dekat. Hanya calon yang punya kedekatan dengan elit partai yang punya peluang jadi legislator. Politik uang dalam ruang gelap pun sulit dibantah karena semuanya berlangsung tertutup.

Baca Juga: RAKERPIM! FTK UIN Mataram Adakan Desain Program Berbasis Mutu dan Renstra

Sebaliknya saat beralih ke proporsional terbuka, praktik politik transaksional antara calon dengan pemilih justru berlangsung secara massif bahkan terbuka.

Artinya apa? Bagi saya polemik tentang sistem Pemilu selama ini masih terjebak pada aspek teknikal semata, padahal kepentingan terbesar kita adalah bagaimana membangun demokrasi yang substantif.

Jika ini tidak dilakukan maka kita akan tetap terjebak dalam absurditas bagai Dewa Sisifus dalam mitologi Yunani itu: bersusah payah mendorong batu ke puncak gunung lalu melepaskannya lagi ke bawah. Terus-menerus begitu.

Kita bersuka cita menyambut tiap pesta demokrasi---sejak level Pilkadus hingga Pilpres--- termasuk merayakan politik transaksional sebagai kenormalan di dalamnya (baik secara langsung kepada pemilih maupun mahar kepada partai), kemudian ada yang terpilih.

Lalu setelah yang bersangkutan terjerat masalah hukum dan dipidana kita pun bersorak kegirangan karena menganggapnya sebagai penjahat negara.

Baca Juga: Inilah 5 Khasiat dan Manfaat Buah Srikaya untuk Kesehatan Tubuh

Demokrasi dan Pemilu hanyalah sebuah instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan dan mendistribusikan keadilan. Kesejahteraan dan keadilan adalah tujuan akhir sehingga polemik tentang cara untuk mencapainya tidak boleh hanya terhenti pada aspek teknikal semata.

Sayang sekali, diskusi publik ini pun tidak mencerminkan keadilan karena dominasi maskulinitas. Buktinya tak satu pun narsum maupun moderatornya dari kalangan perempuan. Semuanya mewakili gender lato-lato. Eh maaf, keceplos!.***

Editor: Mamiq Alki

Tags

Terkini

Terpopuler