76 Masjid Jadi Sasaran hingga Lakukan Penutupan, Prancis Sudah Buat Operasi Besar-Besaran

4 Desember 2020, 18:35 WIB
Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin mengatakan akan memeriksa 76 masjid di negaranya untuk menekan separatisme /Instagram/@gerald_darmanin

WARTA LOMBOK - Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin mengatakan akan memeriksa 76 masjid di negaranya untuk menekan separatisme. Ia mengatakan, beberapa masjid juga mungkin akan ditutup menyusul aksi tersebut..

Menyadur Anadolu Agency Kamis 03 Desember 2020 Darmanin mengatakan tindakan ini adalah operasi besar-besaran yang belum pernah terjadi di Prancis sebelumnya.

Darmanin mengatakan layanan negara akan memantau dan mengendalikan 76 masjid, di mana 16 berada di wilayah Paris dan 60 di seluruh Prancis.

Baca Juga: Presiden Emmanuel Macron Tidak Minta Maaf, MUI Ajak Ummat Islam Boikot Semua Produk Prancis

Beberapa dari masjid ini mungkin akan ditutup dan 18 masjid diantaranya akan menjadi target "tindakan segera" atas permintaan Darmanin.

Menurut surat kabar Le Figaro, Darmanin mengirim surat edaran kepada gubernur tentang pemeriksaan masjid.

Dilaporkan surat kabar lokal, Darmanin telah mengirim surat edaran kepada Gubernur negara itu tentang inspeksi masjid.

Beberapa hari yang lalu seperti yang telah diketahui karikatur Charlie Hebdo yang dibuat pada 2015 lalu telah muncul kembali setelah seorang guru bahasa Prancis, Samuel Paty dibunuh.

Baca Juga: Kecewa Atas Kasus Benih Lobster, Hasim: Prabowo Sangat Marah Pada Edhy

Sang guru dibunuh oleh seorang remaja asal Chechnya setelah Samuel Paty menunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW di depan kelasnya saat mendiskusikan soal kebebasan berbicara.

Pelaku pembunuhan pun ditembak mati oleh polisi.

Sebagaimana diberitakan Pikiran-Rakyat.com dalam artikel "Prancis Buat Operasi Besar-Besaran, 76 Masjid Jadi Sasaran hingga Lakukan Penutupan", menteri dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin mengungkapkan setidaknya 43 masjid telah ditutup sejak kepemimpinan Presiden Emmanuel Macron.

Kabar adanya penutupan masjid itu disampaikan Darmanin pada 3 November 2020 lalu.

Baca Juga: Terbitkan Surat Edaran, Bupati Aceh Tengah Serukan Boikot Produk Prancis

Lalu kemudian pada 20 November 2020 lalu, dalam pernyataan lainnya Darmanin mengatakan bahwa keluarga asing atau imigran yang keberatan dengan karikatur Nabi Muhammad yang ditampilkan di sekolah dapat menghadapi deportasi.

Darmanin mengatakan karikatur provokatif dilindungi di bawah kebebasan berbicara dan mereka yang meminta guru untuk tidak menunjukkan gambar tersebut akan dituntut.

Menteri dalam Negeri Prancis itu juga mengatakan keluarga imigran harus memperhatikan karena mereka dapat menghadapi deportasi selama penuntutan karena melakukan 'kejahatan'.

Prancis adalah rumah bagi populasi Muslim terbesar di Eropa, dan Islam adalah agama terbesar kedua yang dipraktikkan di negara itu setelah Katolik.

Baca Juga: Politisi Ini Terpilih Sebagai Anggota Dewan di Namibia, Meski Miliki Nama Tak Biasa, 'Adolf Hitler'

Komunitas internasional dikejutkan oleh penikaman dua orang di luar bekas kantor Charlie Hebdo pada bulan September, kemudian pemenggalan kepala Paty pada 16 Oktober, dan pembunuhan brutal tiga orang di dalam Basilika Notre Dame Nice pada 29 Oktober 2020.

Serangan tersebut mendorong pejabat Prancis untuk mencari kambing hitam, dan komunitas Muslim menjadi sasaran.

Sementara negara itu dengan gigih membela karikatur provokatif anti-Muslim dengan dalih kebebasan berbicara, banyak agensi, surat kabar dan majalah telah menghapus artikel dan mengubah isinya atas perintah pemerintah Prancis.

Sejak awal November, pemerintah Prancis telah berhasil masuk dan memengaruhi tindakan empat outlet berita terkemuka, termasuk Financial Times, Politico, Le Monde, dan Associated Press.

Baca Juga: Seruan Boikot Produk Asal Prancis, Ini Daftar Produk Negara Prancis

Bulan lalu, Macron mengatakan dia tidak akan mencegah penerbitan kartun dengan dalih kebebasan berbicara, yang memicu kemarahan di kalangan dunia Muslim.

Sedangkan Muslim Prancis menuduhnya berusaha menekan agama mereka dan melegitimasi Islamofobia.

Beberapa negara mayoritas Muslim, termasuk Turki dan Pakistan, telah mengutuk sikap Macron terhadap Muslim dan Islam, dengan Presiden Recep Tayyip Erdoğan mengatakan pemimpin Prancis itu membutuhkan 'pemeriksaan kesehatan mental'.

Berbagai protes dan boikot terhadap produk Prancis telah terjadi di seluruh dunia atas pernyataan anti-Muslim Macron.

Protes terbesar terjadi di Dhaka bulan lalu. Sekitar 10.000 orang di Bangladesh berunjuk rasa di ibu kota negara Asia Selatan itu untuk memprotes presiden Prancis dan dukungan kuatnya terhadap undang-undang sekuler yang menganggap karikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad dapat diterima.

Ribuan pengunjuk rasa membawa spanduk dan plakat bertuliskan 'semua Muslim di dunia, bersatu' dan 'Boikot Prancis' ketika mereka melancarkan pawai menuju Kedutaan Besar Prancis di Dhaka agar keberatan mereka tentang pernyataan itu diketahui, menyerukan orang-orang untuk memboikot produk Prancis .

Baca Juga: Geram atas Tindakan Presiden Prancis, Pemuda Pancasila Ajak Warga Agar Ikut Boikot Produk Prancis

Menurut data yang dihimpun oleh Anadolu Agency (AA), negara-negara mayoritas Muslim memainkan peran penting dalam perdagangan luar negeri Prancis.

Prancis dikatakan telah melakukan ekspor senilai 45,8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp647 triliun ke negara-negara Islam pada 2019, dengan impornya dari negara-negara ini mencapai 58 miliar dolar AS atau sekiranya Rp820 triliun.

Ketua Konfederasi Islamique Milli Gorus Prancis (CIMG), Fatih Sarikir, mengatakan mengaitkan serangan teroris dengan Islam telah menyebabkan penderitaan besar bagi Muslim di Prancis.

"Kesedihan terbesar bagi Muslim di Prancis adalah jenis serangan teroris yang ganas ini.

Baca Juga: KPK Panggil Lima Orang Terkait Kasus Edhy Prabowo, Ali Fikri: Mereka Sebagai Saksi

Mereka mencoba menemukan solusi untuk mengungkapkan bahwa serangan ini tidak ada hubungannya dengan agama sesama warga yang bukan Muslim dan tidak mengenal Muslim dengan baik," uar Sarikir, menyalahkan media dan partai politik sayap kanan karena memicu sentimen anti-Islam di negara tersebut.

Para kritikus mengatakan pemerintah Macron mengeksploitasi serentetan kekerasan untuk meningkatkan sikap anti-Muslimnya yang kontroversial.*** (Pikiran Rakyat/Rahmi Nurfajriani)

Editor: LU Ali

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler