Perdana Menteri Inggris Boris Johnson Didesak Berbicara soal Larangan Jilbab

- 21 Juli 2021, 04:55 WIB
Ilustrasi/Kelompok parlemen di Ingrris protes pelarangan jilbab yang dinilai sebagai sebuah diskriminasi dan Islamofobia.
Ilustrasi/Kelompok parlemen di Ingrris protes pelarangan jilbab yang dinilai sebagai sebuah diskriminasi dan Islamofobia. /UNSPLASH/Abbat

WARTA LOMBOK - Sebuah kelompok parlemen Inggris terkemuka pada hari Senin mendesak PM Boris Johnson untuk berbicara menentang putusan pengadilan Uni Eropa yang mengeluarkan larangan wanita Muslim mengenakan jilbab di tempat kerja.

Dalam sebuah surat kepada perdana menteri, All-Party Parliamentary Group (APPG) tentang Muslim Inggris mengecam keputusan Pengadilan Eropa (ECJ), dengan alasan bahwa keputusan tersebut tidak hanya mempengaruhi umat Islam tetapi juga orang-orang dari agama lain, dan bahwa jilbab bukan hanya simbol agama tetapi bagian mendasar dari identitas mereka.

“Penghakiman ini menjadi preseden berbahaya karena dampaknya terhadap Muslim tetapi juga Yahudi, Sikh, Kristen, dan orang-orang dari agama lain," kata APPG.

Baca Juga: NSO Perangkat Lunak Israel Sebagai Sasaran Operasi Pengawasan Para Aktivis, Politisi dan Jurnalis

Baca Juga: Jenderal Militer AS Bongkar Watak Donald Trump, Menyebutnya Sebagai Adolf Hitler Kedua

"Putusan ini tidak hanya mengancam kebebasan pribadi tetapi menciptakan hambatan tambahan di tempat kerja, terutama bagi perempuan Muslim, dan membuka pintu untuk membenarkan diskriminasi lebih lanjut dan Islamofobia,” tambahnya.

“Kami mendesak Anda untuk berbicara menentang keputusan yang mengancam kebebasan fundamental ini. Kami meminta Anda untuk mengangkat masalah ini dengan rekan-rekan Anda di Eropa dan untuk menekankan pentingnya hak asasi manusia, termasuk kebebasan Beragama dan Berkeyakinan," tegas APPG.

Kelompok parlemen itu juga menyebut banyak kesalahan dalam keputusan ECJ yang berpendapat bahwa jilbab adalah “tanda berukuran besar” yang melambangkan “keyakinan politik, filosofis atau agama.”

Sebaliknya, kelompok itu menjelaskan bahwa ide jilbab bukan hanya jilbab, tetapi cara jutaan wanita memilih untuk berpakaian.

Ini menimbulkan kontradiksi antara keputusan tersebut dan Pasal 9 Konvensi Hak Asasi Masyarakat Eropa, yang memungkinkan kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama.

Surat kepada perdana menteri ditandatangani oleh sejumlah anggota parlemen lintas partai termasuk Baroness Sayeeda Warsi, Naz Shah, Steve Baker, Afzal Khan dan Kristen Oswald.

Pada 15 Juli, ECJ mengkonfirmasi hak pengusaha swasta untuk memecat karyawan karena mengenakan jilbab atau simbol agama lainnya. 

Baca Juga: WHO Sempat Kritik Program Vaksinasi Berbayar di Indonesia Hingga PPKM Darurat Diperpanjang Hingga Akhir Juli

Baca Juga: Juru Bicara Sinovac Sebut Peneliti Vaksin Sarankan Suntikan Ketiga Sinovac dalam mengatasi Varian Delta

Putusan tersebut bermula dari dua kasus wanita Muslim Jerman yang dipecat dari pekerjaannya masing-masing karena mengenakan jilbab.

Meskipun pengadilan Jerman menganggap pemecatan perempuan Muslim sebagai tindakan diskriminatif dan bertentangan dengan Konstitusi negara, ECJ memutuskan sebaliknya.

Putusan tersebut menyatakan bahwa perusahaan di negara-negara anggota dapat melarang karyawan mengenakan jilbab jika mereka "perlu menampilkan citra netral kepada pelanggan".***

Editor: Herry Iswandi

Sumber: aa.com.tr


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah