Tetapi, bahwa tanggung jawab setelah menikah adalah hal yang wajib ditunaikan secara serius, juga tak boleh diabaikan.
Bahkan, agama jauh lebih serius mengurusi ihwal tanggung jawab dari pada sekadar solusi penyaluran hasrat seksual.
Untuk menjawab apa sebenarnya tujuan syariat memberi solusi menikah bagi yang sudah dipenuhi gejolak seksual dan mampu secara finansial, mari simak penjelasan dalam kitab Manba’ussa’âdah yang artinya:
“Karena itu, meneladani Rasulullah dalam mengimplementasikan perintah menikah, tidak bermuara pada makna nikah secara khusus, tetapi bermakna sebuah proses perjalanan spiritual seseorang yang terukir dalam bingkai pernikahan."
"Nikah dalam maknanya yang khusus, tiada lain kecuali ihwal pertemuan sepasang kekasih dalam menyalurkan kebutuhan seksualnya, Adapun nikah dengan makna yang kedua (proses perjalanan spiritual dalam bingkai pernikahan) adalah objek kajian hukum, entah sunnah atau wajib bila dalam asas kemaslahatan, atau makruh, khilaf al-aula, bahkan haram bila akan berpotensi pada kerusakan dan kezaliman.”
Baca Juga: Hukum Menikahi Wanita yang Ditinggal Pergi Suaminya
Dari paparan ini, kita memperoleh jawaban dari rumusan di atas bahwa tujuan syariat dengan solusi pernikahan yang diberikan adalah menyediakan fasilitas untuk meningkatkan kualitas spiritual melalui penyaluran hasrat seksual secara halal dan layak.
Bukan semata mengenyangkan syahwat seperti yang dipahami orang kebanyakan masyarakat saat ini.
Hal ini sebagaimana dalam sebuah riwayat disebutkan, Idza tazawwaja al-‘abdu faqad istakmala nishfu dinihi falyattaqillaha fima baqiya, artinya:
“Apabila seseorang telah menikah, maka sungguh telah sempurna separuh agamanya, maka bertakwalah kepada Allah pada separuhnya.”