Pahlawan Nasional Asal NTB, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Sang Mentari dari Timur

10 November 2020, 08:09 WIB
Pahlawan Nasional Asal NTB TGKH Muhammad Zaenudin Abdul Majid /Instagram/@nwonline_id

WARTA LOMBOK - Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dilahirkan di kampung Bermi Pancor Lombok Timur Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tanggal 17 Rabiul Awal 1316 H (1898 M). Ia lahir dari perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Madjid dengan Hajjah Halimtus Sa’diyah.

Nama kecilnya Muahammad Saggaf, nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa yang sangat menarik untuk dicermati yakni 3 hari sebelum ia dilahirkan. TGH. Abdul Madjid didatangi orang waliyullah masing-masing dari Hadramaut dan Magrabi yang kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni “Saqqaf”.

Kedua waliyullah itu berpesan kepada TGH. Abdul Madjid supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama “Saqqaf”. Saqqaf sendiri artinya “tukang memperbaiki atap”. Kemudian kata “Saqqaf” di Indonesiakan menjadi “Saggaf” dan untuk dialek Bahasa Sasak menjadi “Segep”.

Baca Juga: Untuk Memenuhi Masker dalam Negeri, Pemerintah Memberikan Fasilitas pada Koperasi dan UMKM

Itulah sebabnya ia sering dipanggil dengan “Gep” oleh Ibunda Hajjah Halimatus Sa’diyah.
Setelah menunaikan ibadah haji, nama kecil tersebut diganti dengan “Haji Muhammad Zainuddin”. Nama ini pun diberikan oleh ayah ia sendiri yang diambil dari nama seorang ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram. Akhlak dan kepribadian Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak, ulama besar itu, sangat menarik hati sang ayah.

Sejak kecil Muhammad Zainuddin Abdul Madjid terkenal sangat jujur dan cerdas. Ia menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur'an) dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahnya sejak berusia 5 tahun.

Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara, hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, ia kemudian diserahkan oleh ayahandanya untuk menuntut ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal, antara lain TGH Syarafuddin dan TGH Muhammad Sa'id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin Amaq Dulaji dari desa Kelayu, Lombok Timur.

Ketiga guru agama ini mengajarkan ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan mendengarkan guru membaca Kitab yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid secara bergantian membaca.

Belajar ke Mekah

Untuk lebih memperdalam ilmu agama, Zainuddin remaja yang kala itu berumur 15 tahun, berangkat menuntut ilmu ke Mekah. Pada awalnya di mekkah, ia belajar pada Syaikh Marzuqi, seorang keturunan Arab kelahiran Palembang yang sudah lama mengajar mengaji di Masjid al-Haram.

Di saat yang bersamaan, ia juga belajar ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni Syaikh Muhammad Amin al-Quthbi dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyid Muhsin Al-Palembani, seorang keturunan Arab kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru ia di Madrasah al-Shaulatiyah.

Baca Juga: Hari Pahlawan Nasional: Meutia Membeberkan Fakta Terkait Hatta dan Soekarno dan Pahlawan Nasional

Zainuddin muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Hajji Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalannya itu ia diajak untuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah.

Madrasah ash-Shaulatiyah sendiri merupakan salah satu madrasah legendaris di Tanah Suci. Didirikan pada 1219 H oleh seorang ulama besar imigran India, Syekh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi.

Madrasah ini menghasilkan ulama-ulama besar dunia, termasuk dari Indonesia. Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dan Kiai Haji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), adalah jebolan madrasah tersebut.

Muhammad Zainuddin masuk Madrasah al-Shaulatiyah pada tahun 1345 H (1927 M). Sebelum masuk, ia mengikuti test untuk menentukan kelas yang cocok. Hasil test menentukan di kelas 3. mendengar keputusan itu, TGKH. Muhammad Zainuddin minta diperkenankan masuk kelas 2 dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran ilmu Nahwu dan Sharaf.

Baca Juga: Tahun 2021 akan Dibuka Penerimaan P3K, Ayo Pemerintah Kabupaten Kota Daftarkan Kebutuhan Guru

Selama belajar di madrasah tersebut, prestasi akademiknya sangat istimewa. Dengan kecerdasan yang luar biasa, TGKH. Muhammad Zainuddin berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun. Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemuian loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6, kemuian pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.

Syaikh Zakari Abdul Bila, Ulama Besar Kota Suci Makkah teman seangkatan Zainuddin mengaku sangat mengaguminya. “Saya teman seangkatan Syaikh Zainuddin. Saya bergaul dekat dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum kepadanya. Dia sangat cerdas, akhlaknya mulia,” tuturnya.

Syaikh Zakari Abdul Bila menceritakan, sosok Zainuddin sangat tekun belajar. Sampai-sampai jam istirahatpun diisinya dengan menekuni kitab-kitab dan berdiskusi dengan kawan-kawan.

“Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, karibku, kawan sekelasku. Saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi di kala dia dan saya bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah Shaulatiyah Makkah,” pujinya.

Baca Juga: Lotim Tunda Belajar Tatap Muka, Banyak Sekolah Belum Laporkan Kesiapan Menerapkan Protokol Kesehatan

Mahaguru Zainuddin, Al Allamah Asy Syaikh Salim Rahmatullah yang merupakan Mudir (direktur) Madrasah Shaulatiyah menyatakan, “Madrasah Shaulatiyah tidak perlu memiliki murid banyak, cukup satu orang saja, asalkan memiliki prestasi dan kualitas seperti Zainuddin,” serunya.

Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah Al-Shaulatiyah. Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H dengan predikat "mumtaz" (Summa Cumlaude).

Fadlilatul ‘Allamah Prof. Dr. Sayyid Muhammad ‘Alawi ‘Abbas Al Maliki Al Makki, seorang ulama’ besar Kota Suci Makkah pernah mengatakan, tidak ada seorangpun ahli ilmu di kota Suci Makkah Al Mukarramah baik thullab maupun ulama’ yang tidak kenal akan kehebatan dan ketinggian ilmu Syaikh Zainuddin.

Prof. Dr. Abdul Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman Guru Besar universitas Ummul Quro Makkah menegaskan bahwa Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah ulama yang ahli dalam semua bidang ilmu keislaman serta memiliki kelebihan atas Ulama-Ulama lainnya dan beliu adalah sisa ulama salaf yang saleh (Baqiyyatussa-lafishshalih).

Pesantren dan Kebangsaan

Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, Zainuddin langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya 'Tuan Guru Bajang'.
Pada tahun 1934, ia mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak mempelajari agama. Kemudian, pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri (murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943, ia kembali mendirikan madrasah Nahdlatul Banat diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di pulau lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah Organisasi Nahdlatul Wathan.

Baca Juga: BLT BPJS Ketenagakerjaan Mulai Disalurkan Senin, 9 November 2020. Segera Cek Rekening Anda!

Pada tahun 1952, madrasah-madrasah cabang NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumni di berbagai daerah telah berjumlah 66 buah. Maka untuk mengkoordinir, membina dan mengembangkan madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, ia mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 H/ 1 Maret 1953 M.

Pada zaman penjajahan, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid juga menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir penjajah. Bahkan secara khusus ia bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan Al Mujahidin”.

Gerakan ini bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat lainnya dipulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia. Pada tanggal 7 Juli 1946 TGH Muhammad Faizal Abdul Majid, adik kandung TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong.

Dalam penyerbuan ini adiknya gugur bersama dua orang santri NWDI sebagai syuhada’ sekaligus sebagai pencipta dan penghias Taman Makam Pahlawan Rinjani Selong Lombok Timur.

Pada zaman penjajahan Jepang, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berkali-kali dipanggil untuk segera menutup dan membubarkan kedua Madrasah tersebut. Alasannya, kedua Madrasah ini digunakan sebagai tempat menyusun taktik dan strategi untuk menghadapi penjajahan. Selain itu, madrasah dianggap sebagai wadah yang berindikasi bangsa asing karena diajarkannya Bahasa Arab di kedua Madrasah ini.

Kepada Jepang ia menyatakan beberapa penjelasan. Dikatakannya, Bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran, bahasa Islam, dan bahasa umat Islam, bahasa yang dipakai dalam melaksanakan ibadah.

Kata Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, ibadah umat Islam menjadi rusak kalau tidak menggunakan Bahasa Arab. Itulah sebabnya Bahasa Arab diajarkan di Madrasah NWDI dan NBDI. Di kedua madrasah ini juga dididik calon-calon Penghulu dan Imam yang sangat diperlukan untuk mengurus dan mengatur peribadatan dan perkawinan umat islam.

Setelah mendengar penjelasan ia, segeralah pemerintah Jepang yang ada di Pulau Lombok mengirim laporan ke pihak atasannya di Singaraja Bali. Tidak lama kemudian terbitlah Surat Keputusan di Singaraja dalam bentuk kawat surat, yang berisi antara lain bahwa Madrasah NWDI dan NBDI dibenarkan untuk tetap dibuka, dengan ketentuan supaya nama Madrasah tersebut diubah menjadi Sekolah Penghulu dan Imam”.

Dalam melakukan pengajaran, hal yang paling diingat dari sosok TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah pendekatan yang dilakukan selalu bernilai paedagogik, dalam arti mengandung nilai-nilai pendidikan. Ia tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai pembesar yang disegani.

Ia pun selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-tengah jamaah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan mereka. Demikian juga halnya di kala ia memberikan fatwanya, selalu disesuaikan dengan kondisi dan jangkauan alam pikiran murid dan santrinya.

Dunia Politik

Pada 1945, Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadi pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok dan pada tahun 1946 menjadi pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur. Setelah penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949, ia pun aktif di dunia politik. Ia menjadi anggota Konstituante hasil Pemilu 1955 dari Partai Masyumi.

Lewat siding-sidang konstituante lah, ia mengenal sosok M. Natsir yang ia kagumi. Paska jatuhnya kekuasaan Sukarno, ia bergabung ke Golkar dan memobilisasi dukungan ulama Lombok untuk pemenangan Golkar pada pemilu 1971.

Memasuki dekade awal 1980-an, tatkala hubungan Golkar dan umat Islam mulai menunjukkan ketidakharmonisan, ia pun memilih berhenti menjadi manajer kampanye Golkar, setalah pada rentang 1972-1982, ia sempat menjadi anggota MPR RI.

Lepas dari dunia politik, Zainuddin kembali aktif di dunia Pendidikan, dunia yang tak pernah benar-benar ia tingalkan. Sebut saja, pada tahun 1974, ia mendirikan Ma'had li al-Banat. Kemudian, pada tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi, 1977 mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi, 1978 mendirikan STKIP Hamzanwadi dan pada 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah Hamzanwadi

Kemudian, pada tahun 1982, ia mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi, pada 1987 mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram dan 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi selanjutnya, pada 1990 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Hamzanwadi, 1994 mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri dan pada tahun 1996 mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi

Kesederhanaan

Sikap hidup kesederhanaan yang dianutnya, membuat ia selalu dekat dengan para warganya dan murid-muridnya, tanpa mengurangi kewibawaan dan kharisma yang ia miliki. Keluhan yang disampaikan para warga dan muridnya ditampung, didengar, dan dicarikan jalan penyelesaiannya dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan dengan tidak merugikan salah satu pihak.

Untuk melanjutkan dan mengembangkan perjuangan Nahdlatul Wathan di masa datang, ia pun sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi dan militansi, serta loyalitas yang tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun bobot keilmuan.

Dalam banyak kesempatan, ia sering menyampaikan keinginannya agar murid dan santri ia memiliki ilmu pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lipat lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang ia miliki.

Dalam menerima dan menghadapi para murid dan santri serta warga Nahdlatul Wathan, ia tidak pernah membedakan antara yang satu dengan yang lain. Semua murid dan santri serta warga Nahdlatul Wathan diberikan perhatian dan kasih sayang yang sama besarnya, bagaikan cinta dan kasih sayang seorang bapak kepada anak-anaknya.

Dalam rangka kaderisasi ia banyak memberikan bantuan kepada alumni NWDI dan orang-orang lain untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi dengan nawaitu khusus dan perjanjian khusus pula, yaitu untuk setia membela dan memperjuangkan cita-cita NWDI, NBDI dan NW.

Baca Juga: Kemenag Akan Ubah Skema Penyaluran Dana BOS Madrasah Tahun 2021

Tidak sedikit diantara mereka yang benar-benar menepati janjinya dengan tulus. Sebaliknya ada juga yang khianat pada janjinya, tidak malu merobek-robek nawaitu pengirimannya. Eksistensi dan aplikasi dari wasiat ini menjadi tolok ukur kualitas dan kader ketaatan serta keihklasan kader-kader Nahdlatul Wathan.

Pengarang Produktif

Selain tergolong ulama yang berbobot dalam bidang keilmuan, TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, juga termasuk penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuannya tersebut tumbuh dan berkembang semenjak ia belajar di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah.

Akan tetapi karena kepadatan dan banyaknya acara kegiatan keagamaan dalam masyarakat yang harus diisi olehnya, peluang dan kesempatan ia untuk mengarang dan memperbanyak tulisannya hampir tidak pernah ada.

Itulah sebabnya pada beberapa kesempatan ia sering mengungkapkan keadaannya kepada para muridnya. Ia teringat pada kawan seperjuangan di Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah yang juga telah tergolong ulama besar dan pengarang terkenal seperti asy-Syaikh Zakaria Abdullah Bila, asy-Syaikh Yasin al-Faddani dan lain-lain. Mereka sekarang ini memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis menulis (kitab).

Namun, ia menyadari akan hal ini, karena situasi dan kondisi kehidupan ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat jauh berbeda, yaitu masyarakat Makkah di satu pihak dan masyarakat Indonesia di lain pihak.

Baca Juga: Hasil Penelitian UI: Warga Meyakini Pandemi Covid-19 adalah Konspirasi Global

“Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang dimiliki Syaikh Zakaria Abdullah Bila, Syaikh Yasin Padang, Syaikh Ismail dan ulama-ulama lain tamatan Madrasah ash-Shaulatiyah Makkah,” tuturnya.
Meski begitu, karya tulis dan karangan-karangan TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid masih cukup banyak untuk disimak dan menjadi bahan pelajaran buat banyak orang.

Beberapa di antaranya adalah; Risalat at-Tauhid (Ilmu tauhid dalam bentuk soal jawab), Sullam al-Hija Syarh Safinat an-Naja (Ilmu fiqh), Nahdhat az-Zainiyah (Ilmu faraidh dalam bentuk nadzam) dan At-Tuhfat al-Ampenaniyah Syarh Nahdhat az-Zainiyah (Syarah nadzam ilmu faraidh).

Kemudian, Al-Fawakih al-Ampenaniyah (Ilmu faraidh dalam bentuk soal jawab), Mi’raj ash-Shibyan ila Sama’ ‘Ilm Bayan (Ilmu balaghah), An-Nafahat ‘ala at-Taqrirat as-Saniyah (Ilmu mushtalahul hadits) dan Nail al-Anfal (Ilmu tajwid).

Selain itu ada juga Hizb Nahdhat al-Wathan (Doa dan wirid kaum pria), Hizb Nahdhat al-Banat (Doa dan wirid kaum wanita), Shalawat Nahdhatain (Shalawat iftitah dan khatimah), Thariqat Hizb Nahdhat al-Wathan (Wirid harian), Ikhtishar Hizb Nahdhat al-Wathan (Wirid harian), Shalawat Nahdhat al-Wathan (Shalawat iftitah) dan Shalawat Miftah Bab Rahmatillah (Wirid dan doa).

Selanjutnya, Shalawat Mab’uts Rahmatan li al-‘Alamin (Wirid dan doa), Batu Nompal (Ilmu tajwid), Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu tajwid), Wasiat Renungan Masa I dan II (Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga Nahdlatul Wathan) dan lain sebaginya.

Adapun karyanya dalam benuk nasyid atau lagu perjuangan dan dakwah dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak di antaranya adalah, Ta’sis NWDI (Anti Ya Pancor Biladi), Imamuna asy-Syafi’I, Ya Fata Sasak, Ahlan bi Wafdi az-Zairin, Tanawwar, Mars Nahdlatul Wathani, Bersatulah Haluan, Nahdlatain, Pau Gama’ dan lain sebagainya.

Baca Juga: Mahasiswa Minang akan Mengirimkan Rendang Kepada Joe Biden Sebagai Bentuk Ucapan Selamat

Semangatnya yang keras untuk mengajar, dibuktikannya sampai akhir hayat. Meski dokter sempat mengkhawatirkan kesehatannya, ia tetap berkeliling untuk mengajar. Menurutnya, beraktivitas adalah obat mujarab menjaga napasnya tetap panjang lantaran seluruh persendiannya terus bergerak.

Akhir tahun 1997, tepatnya hari Selasa 21 Oktober 1997 M/18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau usia 102 tahun menurut Hijriah, sang ulama kharismatis pun berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kediaman beliau di desa Pancor, Lombok Timur.

Tiga warisan besar beliau tinggalkan; ribuan ulama, puluhan ribu santri, dan 1.060 sekolah Nahdlatul Wathan di 18 provinsi.

Alamsyah Ratu Perwiranegara dalam kapasitas sebagai Menteri Agama RI mengatakan, jika saja bukan karena usaha NWDI, wajah masyarakat Lombok tidak seperti yang kita lihat sekarang ini, tetapi masih hidup dalam nilai-nilai jahiliyah. Karenanya ia pun pantas dianggap sebagai mentari yang tak lelah menyinari bumi pertiwi.

Sekitar 20 tahun kemudian, pada hari Kamis, 9 November 2017 bertempat di Istana Negara, ia pun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.***

Editor: LU Ali

Sumber: Buku Visi Kebangsaan Religius

Tags

Terkini

Terpopuler