Giorgio Agamben Homo Saces: Kekuasaan Tertinggi dan Kehidupan Telanjang

- 2 November 2021, 20:26 WIB
Ishak Hariyanto Dosen FDIK Universitas Islam Negeri Mataram
Ishak Hariyanto Dosen FDIK Universitas Islam Negeri Mataram /Dok. Warta Lombok/Mamiq Alki

Oleh: Ishak Hariyanto, M. Hum. (Dosen FDIK Universitas Islam Negeri Mataram)

WARTA LOMBOK - Mari membongkar pemikiran Georgio Agamben dalam buku “Homo Saces: Sovereign Power and Bare Life, Stanford University, 1998”. Adapun kata kunci yang menjadi topik perbincangan dalam buku ini kurang lebih. (a). Zoe dan Bios,(b). Sovereign Power,( c). Darurat Demokrasi, (d). Kehidupan telanjang. (e). Homo Sacer.

Buku ini sangat menarik untuk dikaji dan menjadi perspektif baru dalam melihat fenomena politik dan kekuasaan yang ada pada saat ini. Filsuf Itali Geiorgio Agamben lahir pada 22 April 1942, dan banyak dipengaruhi oleh para Filsuf besar seperti Aristoteles, Heidegger, Hannah Arendt, dan Foucault. Dalam menggambarkan Demokrasi, Geiorgio Agamben sangat sinis dan bahkan seperti kehidupan yang telanjang.

Baca Juga: Selamatkan Bahasa Daerah yang Terancam Punah Sebagai Upaya Penyelamatan Keberagaman Bahasa

Mari kita bongkar pemikiran Agamben dan kata kuncinya, a) "Zoe"; menurut Agamben adalah bahasa simbolik yang berarti kehidupan alamiah manusia dan binatang yang sekedar hidup, telanjang. Sedangkan "Bios"; berarti cara hidup yang khas pada individu dan kelompok yang berkuasa (Bios Politikos). Masuknya Zoe ke Bios Politikos yang mempolitisasi kehidupan yang “Telanjang” menjadi “Modernitas”. Akhirnya Zoe dipolitisasi oleh Bios menuju ke Modernitas, dan berdampak pada “Politik memasuki dan melewati kegelapan gerhana tanpa henti”.

Zoe/kehidupan telanjang bertransisi dari kehidupan yang alami menuju kehidupan Bios/politis. Lalu terjadilah perpaduan Zoe/kehidupan telanjang dan Bios/politik. Kehidupan yang telanjang ini pada akhirnya harus tunduk pada Sovereign Power/kekuasaan tertinggi akibat Bios. Dari Bios menjadi Biopolitik yang terlembagakan, kemudian melahirkan, mengatur, dan mengeluarkan kekuasaan yang berdaulat/sovereign power.

  Siapakah Sovereign Power/kekuasaan tertinggi?, yakni penguasa sang pembuat keputusan atas dasar Eksepsi/pengecualian. Penguasa pada akhirnya melahirkan, mengatur, dan mengeluarkan kekuasaannya dengan Eksepsi tadi. Dan anehnya, penguasa akhirnya bisa kebal dengan hukum karena memiliki kekuasaan. Pada saat yang sama juga penguasa/Sovereign Power hidup dalam “Paradoks kekuasaan berdaulat”.

Baca Juga: Mengenal Khalid Bin Walid, Sang Panglima Perang Pasukan Islam Bergelar 'Pedang Allah'

“Paradoks kekuasaan berdaulat”, artinya, bisa berada diluar dan di dalam tataran yuridis sekaligus. Sovereign Power ini memiliki kekuasaan yang tidak tertandingi karena menempatkan diri sebagai representasi/perwakilan rakyat. Lalu pada akhirnya pemilik kekuasaan memiliki kuasa untuk membatalkan validitas hukum, karena hukum berada di luar hukum itu sendiri. Sovereign Power/sang pemilik kekuasaan secara tidak langsung menjadi “Aku sang penguasa, tidak ada yang boleh keluar dan terhindar dari kekuasaanku”. Sovereign Power/pemilik kekuasaan mampu membatalkan/menangguhkan hukum dengan hukum itu sendiri melalui eksepsi/pengecualian.

Halaman:

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Buku Homo Saces: Sovereign Power and Bare Life


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah