Waktu zaman proporsional tertutup publik mengeluhkan bagai membeli kucing dalam karung, karena calon ditentukan oleh partai.
Publik tidak diberi kesempatan untuk mengenal para calon secara dekat. Hanya calon yang punya kedekatan dengan elit partai yang punya peluang jadi legislator. Politik uang dalam ruang gelap pun sulit dibantah karena semuanya berlangsung tertutup.
Baca Juga: RAKERPIM! FTK UIN Mataram Adakan Desain Program Berbasis Mutu dan Renstra
Sebaliknya saat beralih ke proporsional terbuka, praktik politik transaksional antara calon dengan pemilih justru berlangsung secara massif bahkan terbuka.
Artinya apa? Bagi saya polemik tentang sistem Pemilu selama ini masih terjebak pada aspek teknikal semata, padahal kepentingan terbesar kita adalah bagaimana membangun demokrasi yang substantif.
Jika ini tidak dilakukan maka kita akan tetap terjebak dalam absurditas bagai Dewa Sisifus dalam mitologi Yunani itu: bersusah payah mendorong batu ke puncak gunung lalu melepaskannya lagi ke bawah. Terus-menerus begitu.
Kita bersuka cita menyambut tiap pesta demokrasi---sejak level Pilkadus hingga Pilpres--- termasuk merayakan politik transaksional sebagai kenormalan di dalamnya (baik secara langsung kepada pemilih maupun mahar kepada partai), kemudian ada yang terpilih.
Lalu setelah yang bersangkutan terjerat masalah hukum dan dipidana kita pun bersorak kegirangan karena menganggapnya sebagai penjahat negara.
Baca Juga: Inilah 5 Khasiat dan Manfaat Buah Srikaya untuk Kesehatan Tubuh
Demokrasi dan Pemilu hanyalah sebuah instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan dan mendistribusikan keadilan. Kesejahteraan dan keadilan adalah tujuan akhir sehingga polemik tentang cara untuk mencapainya tidak boleh hanya terhenti pada aspek teknikal semata.