WARTA LOMBOK - Lin Htet meninggalkan rumahnya di Mandalay pagi-pagi sekali untuk bergabung dengan kelompok protes Mya Taung.
Sekelompok pengunjuk rasa garis depan yang membela rekan-rekan mereka dari peluru karet dan gas air mata dengan menggunakan perisai dan kain basah.
“Nak, jangan pergi. Begitu banyak orang sekarat," Itulah di antara kata-kata terakhir yang dibagikan Zaw Lin kepada anaknya yang berusia 19 tahun pada hari Kamis.
Dikutip wartalombok.com dari Myanmar Now. Beberapa jam kemudian Lin Htet, seorang mahasiswa geologi di Universitas Yadanabon, dibunuh oleh pasukan rezim kudeta.
"Dia bilang dia hanya akan memungut sampah. Saya kemudian mengetahui bahwa dia berada di garis depan memegang perisai. Dia tidak ingin kita khawatir," kata Zaw Lin ayah Lin Htet.
Lin Htet tewas ketika pasukan rezim menyerang kolom protesnya di dekat pagoda Koe Lone Tagar di jalan ke-90.
Keluarganya tidak dapat menguburkan Lin Htet karena militer menolak mengembalikan jenazahnya.
Baca Juga: Program Bali Kembali Buka Pendaftaran 10 Maret 2021, Simak Jadwal dan Keuntungan Mengikutinya