Bon Ishikawa membutuhkan waktu hingga tiga tahun lamanya dalam membuat film dokumenter yang sebetulnya sudah diawali dengan riset (penelitian) sejak tahun 1991, ketika dirinya mengambil sejumlah foto terkait tradisi tersebut.
Baca Juga: Versi Rating IMDb, Berikut 7 Rekomendasi Film Keluarga yang Menguras Emosi dan Air Mata
Selama melakukan riset, Bon Ishikawa menemukan beberapa kesulitan sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam meneliti tradisi berburu paus di NTT tersebut. Beberapa kesulitan yang dihadapi kala itu seperti komunikasi dengan masyarakat lokal yang masih berbahasa daerah, yakni Bahasa Lamaholot, dan kesulitan terbesar yang dialami sutradara adalah menunggu paus itu muncul.
“Selama tiga tahun tidak muncul-muncul, Saat saya akan pulang ke Jepang, baru muncul. Mungkin ingin menunjukkan ‘ini saya’,” ujar Bon Ishikawa, sosok sutradara yang mengantongi nominasi penghargaan dokumenter dari Japan Movie Critics Award 2022 itu.
Pada film dokumenter “Kujirabito” juga menyampaikan bahwasanya paus merupakan sebagai anugerah yang sudah diciptakan Tuhan untuk menghidupi sekitar 1.500 jiwa di Desa Lamalera.
Baca Juga: Alur Cerita Film The Ninth Passenger: Teror Mengerikan dari Penumpang Kapal Misterius, Siapakah Dia?
“Jadi, apa boleh buat. Tidak ada makanan lain yang bisa menghidupi seluruh penduduk itu. Tuhan sudah menciptakan, manusia harus bisa mengatur,” tuturnya, seraya menyampaikan agar manusia bisa hidup bersama alam dan menjaga tidak hingga sampai punah.
Sementara itu, salah satu penonton, yakni Satoe menilai bahwa budaya berburu paus tersebut patut tuk dilestarikan.
“Kita belum tahu apakah kehidupan mereka itu dapat dilestarikan, mereka yang akan memilih mau ke mana. Kita tidak bisa memaksa mereka berhenti berburu paus atau nanti mereka pergi ke kota, siapa yang bisa larang,” ungkapnya.
Dalam konteks sadisme, menurut dia (Satoe), antara paus dan manusia memiliki kedudukan yang sama, yakni sama-sama bertaruh nyawa. Manusia bertaruh nyawa untuk melanjutkan kehidupan, begitu pula dengan paus.