Bangunan Pedesaan di Jepang Habis Ambruk, Akibat Gempa 7,6 Magnitudo

- 5 Januari 2024, 16:52 WIB
Jepang tak mampu selamatkan bagunan tua dari gempa berkekuatan 7,6 Magnitudo
Jepang tak mampu selamatkan bagunan tua dari gempa berkekuatan 7,6 Magnitudo /Instagram//

WARTA LOMBOK - Gempa bumi dahsyat dengan magnitudo 7,6 mengguncang Jepang tengah pada Selasa pagi, meninggalkan pemandangan yang tak terlupakan.

Kejadian ini mengubah suasana setelah televisi menyiarkan acara varietas untuk menyambut Tahun Naga.

Layar berpindah cepat ke penyiar berhelm, mendesak orang untuk menuju daerah yang lebih tinggi sejauh mungkin dari pantai. Untuk pertama kalinya dalam hampir 13 tahun, Jepang bersiap menghadapi potensi tsunami mematikan.

Baca Juga: Titik Pusat Gempa Bumi Jepang Dekat dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, Bagaimana Nasib para Warga?

Ombak datang, tapi tidak membawa kehancuran seperti yang terjadi di pesisir timur laut Jepang pada 11 Maret 2011, saat lebih dari 18.000 orang tewas, sebagian besar tenggelam.

Di semenanjung terpencil Noto, mobil bersandar di jalan yang tergores retak dalam, gedung bertingkat condong, dan genteng rumah-rumah yang runtuh menutupi tanah.

Bencana ini bukan akibat tsunami raksasa, melainkan serangkaian gempa kuat, yang pertama mencapai level tujuh dalam skala intensitas seismik Jepang.

Baca Juga: Kecelakaan Kereta Api di Cicalengka Bandung, Begini Kronologinya

Tragedi pekan ini, dengan 92 korban jiwa, lebih dari 460 luka-luka, dan 242 orang masih hilang, menjadi pengingat tentang kerentanan Jepang terhadap aktivitas seismik yang tak kenal ampun.

Hal ini juga mencerminkan tingkat kesiapsiagaan bencana yang kurang memadai di komunitas-komunitas yang berisiko di seluruh kepulauan.

Ketahanan Gempa di Jepang Tak Mampu Selamatkan Bangunan Tua
Ketahanan Gempa di Jepang Tak Mampu Selamatkan Bangunan Tua
Ketahanan Gempa di Jepang Tak Mampu Selamatkan Bangunan Tua

Jepang memiliki reputasi yang pantas untuk teknologi konstruksi tahan gempa. Terletak di "cincin api" Pasifik, negara ini adalah yang paling aktif secara seismik di dunia, mengalami sekitar 1.500 gempa terasa setiap tahun.

Baca Juga: Senator Bali Arya Wedakarna Buka Suara Soal Pernyataannya : Maaf Kalau Ada Yang Tersinggung

Gedung-gedung yang dibangun setelah tahun 1981 dirancang untuk bertahan bahkan dari gempa bumi yang kuat.

Meskipun merasa tidak nyaman berada di lantai atas pencakar langit Tokyo yang bergoyang selama gempa kuat, diharapkan struktur tersebut tetap berdiri tegak berkat inovasi.

Seperti bantalan karet lembut besar di bawah fondasi, pengaman guncangan di setiap lantai, dan dalam beberapa kasus, bandul raksasa di bagian atas untuk menetralkan gerakan bangunan.

Baca Juga: Aksi Demonstrasi di Bali: Menuntut Tindakan Hukum atas Dugaan Penistaan Agama oleh AWK Senator DPD RI

Namun, Selasa lalu, pascabencana Noto menceritakan kisah yang sangat berbeda. Sementara penjaga pantai memeriksa laut mencari orang yang mungkin terbawa oleh gelombang tsunami setinggi 1,2 meter, pekerja penyelamat terus mengeluarkan mayat - dan sejumlah kecil orang yang selamat - dari reruntuhan.

Korban tewas tersebut mati dengan cara yang belum pernah dilihat Jepang sejak April 2016, ketika gempa bumi magnitudo 7,0 menewaskan 273 orang di wilayah Kumamoto di barat daya.

Warga Jepang tertentu akan mengingat gempa bumi Januari 1995 yang memicu kebakaran di Kobe, sebuah kota pelabuhan di Jepang barat, menewaskan 6.000 orang. Di Noto, banyak orang meninggal dengan cara yang menggemparkan banyak orang di Jepang yang dianggap "tahan gempa".
Baca Juga: Turut Bersuara, Pemuda NW NTB Kecam Keras Pernyataan AWK yang Diduga Telah Menistakan Agama!

Dalam hal kemampuan mereka untuk bertahan dari gempa bumi kuat, bencana Senin lalu menyoroti kesenjangan besar antara komunitas terisolasi dan sepi seperti Wajima dan Suzu, di mana 78 orang dilaporkan meninggal pada Jumat, dan kota-kota seperti Tokyo, 450 km (280 mil) jauhnya.

Perbedaan tersebut sebagian besar bersifat sosial seperti yang diungkapkan Tsuyoshi Takada, profesor emeritus di Universitas Tokyo dan presiden Asosiasi Teknik Gempa Bumi Jepang.

“Banyak rumah yang lebih dari 50 tahun dan tidak terawat dengan baik,” ujar Takada. “Dan wilayah ini mengalami depopulasi, seperti setiap daerah pedesaan di Jepang, dengan para pemuda khususnya meninggalkan."***

Editor: SwandY

Sumber: The Guardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah