Ragam Pendapat Ulama tentang Hukum Bunga Bank

- 17 September 2021, 04:05 WIB
Ilustrasi/Beragam pendapat ulama tentang hukum bunga bank.
Ilustrasi/Beragam pendapat ulama tentang hukum bunga bank. /nu.or.id

WARTA LOMBOK - Permasalahan hukum bunga bank selalu menjadi bahan yang menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Bahkan, ada seorang profesor yang di-bully habis-habisan karena ‘dianggap’ menghalalkan riba.

Padahal yang disebutkan adalah adanya perbedaan pendapat ulama apakah bunga bank termasuk riba atau bukan.

Riba secara bahasa berarti tumbuh dan tambah. Sedangkan secara istilah, Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah mengartikannya sebagai “bertambahnya salah satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan ini”.

Baca Juga: 4 Etika Bercerai dalam Pandangan Islam

Misalnya, menukarkan 10 kg beras ketan dengan 12 kg beras ketan, atau si A bersedia meminjamkan uang sebesar Rp300 ribu kepada si B, asalkan si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp325 ribu.

Para ulama, baik ulama salaf (mazhab empat) maupun ulama kontemporer, semua sepakat akan keharaman riba. Bahkan ulama yang membolehkan bunga bank, juga mengharamkan riba.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat ulama bukan soal hukum keharaman riba, melainkan soal hukum bunga bank.

Ulama yang mengharamkan bunga bank menganggap bahwa bunga bank termasuk riba, sedangkan ulama yang membolehkannya meyakini bahwa ia tidak termasuk riba. Dalam kegiatan bank konvensional, terdapat dua macam bunga:

Pertama, bunga simpanan, yaitu bunga yang diberikan oleh bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank, seperti jasa giro, bunga tabungan, atau bunga deposito. Bagi pihak bank, bunga simpanan merupakan harga beli.

Kedua, bunga pinjaman, yaitu bunga yang dibebankan kepada para peminjam atau harga yang harus dibayar oleh peminjam kepada bank, seperti bunga kredit. Bagi pihak bank, bunga pinjaman merupakan harga jual.  

Baca Juga: Hukum Menjawab Salam dalam Hati

Bunga simpanan dan bunga pinjaman merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank.

Bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus dikeluarkan kepada nasabah, sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan yang diterima dari nasabah.

Selisih dari bunga pinjaman dikurangi bunga simpanan merupakan laba atau keuntungan yang diterima oleh pihak bank. Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum bunga bank.

Pertama, sebagian ulama, seperti Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya haram, karena termasuk riba.

Pendapat ini juga merupakan pendapat forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).   

Adapun dalil diharamkannya riba adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat al-Baqarah ayat 275:

                                                                                                                 وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”   

Baca Juga: Makna dan Hikmah Kesombongan Iblis Terhadap Adam

Dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah:

                                       عَنْ جَابِرٍ قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ    

Dari Jabir, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikannya.”

Ia berkata: “Mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).

Kedua, sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti Syekh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba.

Pendapat ini sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah tanggal 23 Ramadhan 1423 H, bertepatan tanggal 28 November 2002 M.  

Mereka berpegangan pada firman Allah subhanahu wata’ala Surat an-Nisa’ ayat 29:

                                                      يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”  

Baca Juga: Hikmah di Balik Larangan Nabi Adam dan Hawa Mendekati hingga Memakan Buah Khuldi

Pada ayat di atas, Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, seperti mencuri, menggasab, dan dengan cara riba.

Sebaliknya, Allah menghalalkan hal itu jika dilakukan dengan perniagaan yang berjalan dengan saling ridha.

Karenanya, keridhaan kedua belah pihak yang bertransaksi untuk menentukan besaran keuntungan di awal, sebagaimana yang terjadi di bank, dibenarkan dalam Islam.  

Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa jika bunga bank itu haram maka tambahan atas pokok pinjaman itu juga haram, sekalipun tambahan itu tidak disyaratkan ketika akad.

Akan tetapi, tambahan dimaksud hukumnya boleh, maka bunga bank juga boleh, karena tidak ada beda antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut. Di dalam fatwa Majma’ al-Buhus al-Islamiyyah disebutkan:

                                                  إِنَّ اسْتِثْمَارَ الْأَمْوَالِ لَدَى الْبُنُوْكِ الَّتِيْ تُحَدِّدُ الرِّبْحَ أَوِ العَائِدَ مُقَدَّمًا حَلَالٌ شَرْعًا وَلَا بَأْسَ بِهِ  

Sesungguhnya menginvestasikan harta di bank-bank yang menentukan keuntungan atau bunga di depan hukumnya halal menurut syariat, dan tidak apa-apa.

Pada Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992, terdapat tiga pendapat tentang hukum bunga bank:

Baca Juga: 10 Pondok Pesantren Tertua di Indonesia, Rata-rata Berusia Ratusan Tahun

Pertama, pendapat yang mempersamakan antara bunga bank dengan riba secara mutlak, sehingga hukumnya adalah haram.

Kedua, pendapat yang tidak mempersamakan bunga bank dengan riba, sehingga hukumnya adalah boleh.

Ketiga, pendapat yang mengatakan bunga bank hukumya syubhat. Meski begitu, Munas memandang perlu untuk mencari jalan keluar menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam.  

Dari paparan di atas, dapat dipahami bahwa hukum bunga bank merupakan masalah khilafiyah.

Ada ulama yang mengharamkannya karena termasuk riba, dan ada ulama yang membolehkannya, karena tidak menganggapnya sebagai riba.

Tetapi mereka semua sepakat bahwa riba hukumnya haram. Terhadap masalah khilafiyah seperti ini, prinsip saling toleransi dan saling menghormati harus dikedepankan.

Sebab, masing-masing kelompok ulama telah mencurahkan tenaga dalam berijtihad menemukan hukum masalah tersebut, dan pada akhirnya pendapat mereka tetap berbeda.

Baca Juga: Ini Hukum Jika Seorang Istri 'Minta' Hubungan Badan Lebih Dulu, Pahalanya Tak Terkira 

Karenanya, seorang Muslim diberi kebebasan untuk memilih pendapat sesuai dengan kemantapan hatinya.

Jika hatinya mantap mengatakan bunga bank itu boleh maka ia bisa mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya.

Sedangkan jika hatinya ragu-ragu, ia bisa mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

                            البِرُّ مَا اطْمَأَنَّ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَالْإِثْمُ مَاحَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتُوْكَ  

"Kebaikan adalah apa saja yang menenangkan hati dan jiwamu. Sedangkan dosa adalah apa yang menyebabkan hati bimbang dan cemas meski banyak orang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan kebaikan." (HR. Ahmad) Wallahu a'lam.***

Editor: Herry Iswandi

Sumber: nu.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x