Siapakah yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa Ramadhan? Berikut Penjelasannya Beserta Dalilnya

- 24 Maret 2022, 13:44 WIB
Ilustrasi anak muslim yang mengaji di bulan Ramdhan
Ilustrasi anak muslim yang mengaji di bulan Ramdhan /PIXABAY/darwisalwan

WARTA LOMBOK – Melaksanakan puasa Ramadhan merupakan kewajiban setiap muslim yang beriman karena merupakan rukun islam yang ketiga.

Dalam melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan tersebut, hendaknya setip muslim wajib mengetahui siapa saja orang muslim yang diperbolehkan tidak berpuasa.

Dikutip wartalombok.com dari kitab Al-Bayyinatul Ilmiyyah Fil Mas’alatil Fiqhiyyah, berikut orang muslim yang diperbolehkan tidak berpuasa.

Baca Juga: WAJIB DIKETAHUI! Ini Syarat, Rukun, Niat Serta Adab dalam Melakasanakan Puasa Ramadhan

Baca Juga: Balika Vadhu Hari Ini, MENEGANGKAN! Alok Sangat Marah Pada Subhadra, Sanchi Hampir Bunuh Diri

Pertama Sakit Ringan: yaitu sakit yang tidak memberikan pengaruh terhadap puasa, demikian pula berbuka tidak memberikan keringan kepadanya. Seperti; flu yang ringan, pusing yang ringan, sakit gigi, dan lainnya. Dalam kondisi seperti ini seorang tidak diperbolehkan berbuka karenanya.

Kedua Sakit Ringan yang Bertambah Parah: yaitu yang awalnya ringan kemudian bertambah parah atau terlambat sembuh dan seorang merasa berat untuk berpuasa, akan tetapi puasa tersebut tidak berdampak negatif terhadap kesembuhan. Dalam kondisi seperti ini seorang dianjurkan untuk berbuka karenanya.

Ketiga Sakit Berat: yaitu sakit yang menyebabkan seseorang merasa berat melakukan puasa dan berpuasa dapat berakibat buruk terhadap seseorang bahkan bias mengantarkan kepada kematiannya. Dalam kondisi seperti ini seorang diwjibkan berbuka karenanya, dan haram untuk berpuasa.

Keempat Orang yang Safar atau Musafir, dalil bolehnya orang yang sakit dan orang yang safar untuk tidak puasa, adalah firman Allah;
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah:185).

Baca Juga: Aturan Batasan Aurat Wanita Muslimah di Depan Sesama Muslimah, Non Muslim dan Ketika Sholat

Manakah yang lebih utama dalam keadaan safar puasa atau berbuka? Masalah ini dapat dipertimbangkan dengan melihat 3 (tiga) keadaan seorang yang melakukan safar.

Safar yang dilakukan membuatnya berat untuk melakukan puasa dan menghalanginya untuk melakukan kebaikan, ketika itu berbuka lebih baik bagi dirinya.

Diantara dalilnya adalah hadits Jabir, ia berkata;
“Suatu ketika Rasulullah berada dalam peerjalanan,lalu beliau melihat sekelompok orang yang berdesakan dan orang yang sedang diteduhi, lalu beliau bertanya, “Apa yang terjadi dengannya?‟ mereka menjawab, “Ia sedang berpuasa.‟ Kemudian Ralulullah bersabda, “Bukan termasuk kebaikan (baginya), berpuasa didalam perjalanan.” (HR. Bukhari 1946, Muslim:1115).

Safar yang dilakukan tidak membuatnya merasa berat untuk berpuasa dan tidak menghanginya untuk melakukan kebaikan, maka berpuasa lebih bik baginya daripada berbuka.

Hal di atas berdasarkan keumuman firman Allah yang artinya “Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:184).

Safar yang dilakukan membuatnya merasa berat untuk berpuasa dan dapat menyebabkan kematian. Ketika itu ia wajib berbuka dan haram hukumnya berpuasa.

Hal di atas seperti disebutkan dalam hadits Jabir;
“Bahwasanya Rasulullah keluar menuju Makkah ketika fathu Makkah pada bulan Ramadhan, beliau berpuasa hingga sampai di Kura' al-Ghamim sementara orang-orang ikut berpuasa, kemudian beliau meminta diambilkan segelas air dan mengangkatnya sehingga semua orang melihatnya, lalu beliau meminumnya. Setelah itu dikatakan kepada beliau bahwa sebagian orang tetap berpuasa, maka Rasulullah bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang melakukan maksiat, mereka orang yang melakukan maksiat.” (HR. Muslim:1114).

Baca Juga: Ternyata Pernikahan Khadijah dengan Nabi Muhammad Berawal Dari Sini, Sangat Menakjubkan

Kelima Orang yang Sudah Tua, sebagaimana firman Allah;
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah:184).

Keenam Wanita yang Hamil dan Menyusui, jika mereka tidak mampu untuk berpuasa atau khawatir akan anak-anaknya bila mereka berpuasa, maka boleh bagi mereka untuk berbuka dan wajib atas mereka untuk membayar fidyah, tetapi mereka tidak wajib mengqadha‟.

Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, dia berkata;
“Jika wanita yang hamil khawatir akan dirinya, begitu juga wanita yang menyusui khawatir akan anaknya disaat bulan Ramadhan, maka boleh bagi mereka berdua untuk berbuka, kemudian memberi makan orang miskin setiap hari dari hari-hari yang ia tinggalkan dan tidak wajib atas mereka mengqadha' puasa.” (Shahih: Ath-Thabrani (no. 2758).

Hal di atas Juga riwayat dari Naf’, ia berkata;
“Salah seorang puteri dari Ibnu Umar menjadi isteri salah seorang laki-laki Quraisy, dan di saat Ramadhan ia sedang hamil, kemudian ia kehausan, maka Ibnu Umar memerintahkan untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari (yang ditinggalkan).” (HR. Daraquthni II / 207, no. 15).

Adapun ukuran fidyah bagi orang yang sudah tua, wanita yang sedang hamil, dan wanita menyusui adalah sebanyak setengah sha’. Wallahu alam.***

Editor: Muhamad Ilham

Sumber: Al-Bayyinatul Ilmiyyah Fil Mas’alatil Fiqhiyyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah