Pemuda Sumbawa Akui Pemikiran Prof Din Syamsuddin 'Radikal'

- 14 Februari 2021, 08:54 WIB
Logo Gerakan Antiradikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR ITB) dan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Logo Gerakan Antiradikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR ITB) dan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin. /Kolase tangkap layar laporan GAR ITB dan Antara/

WARTA LOMBOK - Salah seorang anak muda desa sekampung Prof M Dien Syamsuddin menuliskan tanggapannya terkait tuduhan radikal GAR Alumni ITB bahwa mantan Ketua Umum Muhammadiyah 2 Peridoe itu dianggap radikal.

Ia adalah Poetra Adi Soerjo seorang anak muda sekampung dengan Prof Din Syamsuddin mengakui bahwa Prof Din memang memiliki pikiran yang 'radikal". Soerjo yang juga ikut membantu Prof Din dalam mengembangkan Pesantren Modern Internasional Dea Malela mengaku sangat intens berjibaku dengan berbagai pemikiran Prof Din. Dalam berbagai interaksinya tersebut, Soerjo berkesimpulan bahwa memang pemahaman agama dan kebangsaan Prof Din sangat "radikal".

Radikal berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu radix yang berarti akar. Orang yang berpikir radikal artinya memahami konteks sebuah pemikiran secara utuh -tidak hanya sebatas epistemoligi dan axiologi- tapi hingga ke akar (ontologis) dari pemikiran tersebut. Dalam artian inilah Soerjo memandang pemahaman keagamaan dan kebangsaan Prof Din memang sangat kuat dan mengakar (radikal). Prof Din diakui suryo tidak setengah tengah dalam memahami tiap disiplin keilmuan, beliau memiliki pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang dalam, utuh dan holistik.

Baca Juga: GAR ITB Tuduh Prof Dien Syamsuddin Radikal, PDM Lotim: Itu Ngawur, NTB Siap Menunggu Perintah PP Muhamadiyah

Sebagai seorang Profesor, Prof Din memiliki seluruh tools dan metodologi dalam memahami akar dari berbagai subjek dan disiplin ilmu, apalagi terkait agama dan kebangsaan. Pengalaman menempa Prof Din dengan sangat sempurna untuk memiliki pemahaman yang utuh dalam memahami relasi agama dan negara serta peradaban barat dan timur. Menyelesaikan studi di Pondok Modern Darusalam Gontor, Strata Satu di UIN Syarif Hidayatullah serta Master dan Phd di California University menjadikan pikiran pikiran beliau selama ini telah menjadi jembatan pengertian yang mendamaikan peradaban pengetahuan timur dan barat, dengan berbagai ragam konflik di dalamnya. Untuk itulah Prof Din memiliki pergaulan internasional yang luas dan telah menjadi tokoh dan duta perdamaian dunia.

Sudah terlalu lama kita sebagai negara bangsa disibukkan dengan definisi yang salah dalam penggunaan kata radikal, kesalahan membangun definisi inilah yang membuat riuh. Seperti tuduhan radikal yang dialamatkan ke Prof Din. Mereka menyamakan kata radikal dan radikalisme dengan ekstrim dan ekstrimisme. Ekstrimisme adalah sikap melampaui batas moderasi dan cendrung menggunakan kekerasan, maka disebut violent extremism.

Radikal dalam beragama sebagaimana asal katanya haruslah dimaknai sebagai sebuah sikap bertumpu dan berorientasi pada dasar atau akar (usuluddin). Sementara radikal dalam bernegara adalah konsisten dalam menegakkan dasar negara dan konstitusi. Dalam pengertian inilah Suryo mengakui Prof Din sebagai seorang yang beragama dan bernegara secara radikal. Akan tetapi jika diajukan pemahaman yang keliru atas kata radikal seperti segelintir alumni ITB yang bergabung dalam GAR, maka itu salah kaprah dan sesat menyesatkan. Sikap kelompok ini justru sebuah sikap ekstrim, karena melampaui batas.

Itulah penyakit intlektual hari ini yang kurang radikal dalam memahami disiplin ilmu. Kurang radikal dapat disebut sebagai dangkal atau tanggung dan atau tidak utuh memahami akar dari berbagai pemahaman dan peta pemikiran. Pemahaman yang tidak radix atau dangkal inilah yang membuat seseorang menjadi ngambang dan mudah digoyang. Dari sinilah justru ekstrimisme itu lahir, ekstrimisme dalam sejarahnya selalu lahir dari orang orang yang tidak memiliki tradisi berpikir yang baik dan dangkal dalam berpikir sehingga mudah distir dan atau dibelokkan menjadi melakukan tindakan ekstrim. Jika orang memiliki dasar pikiran yang kuat dengan tradisi berpikir yang baik dan mengakar (radix), maka dia tak akan mudah terjebak menjadi ekstrimis. Dan ingat, radikal dan ekstrim ini adalah dua terma yang jauh berbeda, radikal sama sekali bukanlah ekstrimisme. Sudah terlalu lama negara ini dikacaukan dengan pengertian yang keliru dalam memahami kata radikal. Radikalisme berpikir tentu melahirkan sikap kritis karena keutuhan dalam memahami konsepsi, dan adalah kemunduran ke era jahiliyah jika tradisi berpikir kritis dipandnag sebagai ekstrimisme.

Para intlektual yang tidak radix dannatau dangkal dalam berpikir inilah yang suka genit mengguunakan terma radikal tidal pada tempatnya. Orang orang yang dangkal dalam berpikir terlalu banyak berbicara terkait sesuatu yang dia sendiri tidak memahami apa yang sedang dibicarakan. Dan lebih jauh lagi, tradisi berpikir yang tidak radix telah dalam jangka waktu yang lama menciptakan peradaban masyarakat dengan pribadi yang lemah dan hipokrit; pagi bicara tahu sore bicara tempe. Apa yang menjadi keyakinan hatinya berbeda dengan yang terucap dan berbeda lagi dengan apa yang menjadi tindakannya. Pikiran, perkataan dan perbuatan tidak lahir dari keyakinan hati yang mantap yang lahir dari utuhnya pemahaman dan konsepsi. Untuk itulah Islam mengajarkan kita kaffah atau menyeluruh atau radix dalam pikiran dan pemahaman, tidak boleh dangkal dan separuh. Seperti dalam puisi seorang jomblo yang kesepian "aku lelah menjadi separuh". Orang yang separuh memang nelangsa.

Halaman:

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Poetra Adi Soerjo


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah