Dualisme Partai Demokrat Berlanjut, Refly H: Posisi Kemenkumham Seharusnya Hanya Jalankan Fungsi Administratif

- 12 Maret 2021, 09:50 WIB
Refly Harun.
Refly Harun. /Instagram.com/@reflyharun

WARTA LOMBOK – Diskusi yang dilakukan secara daring bertajuk menyoal KLB Partai Demokrat yang beraroma kudeta yang dipantau di Jakarta Kamis, 11 Kamis 2021.

Dari Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan dirinya salah satu pihak yang tidak pernah mendorong Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Yang mana bisa melakukan penilaian substantif terhadap konflik partai politik atau kongres luar biasa (KLB) yang terjadi.

Baca Juga: Menjawab Tudingan Kaleng-kaleng PD AHY, Pengurus Demokrat Versi KLB Gelar Jumpa Pers di Kediaman Moeldoko

"Mungkin saat ini kita pro dan mengatakan bahwa pendaftaran itu harus ditolak,” kata Refly seperti yang dilansir wartalombok.com dari Antara Kamis, 11 Maret 2021.

Menurutnya, jika kemudian tiba-tiba Menteri Hukum dan HAM memiliki subjektivitas untuk memilih.

“Tapi jika di balik, misal pada kasus lain KLB tersebut berjalan demokratis dan kemudian tiba-tiba Menteri Hukum dan HAM memiliki subjektivitas untuk memilih yang mana," jelasnya.

Ia berpandangan bahwa posisi Kemenkumham seharusnya hanya menjalankan fungsi administratif.

Artinya, sepanjang berkas yang diserahkan atau didaftarkan telah memenuhi syarat, maka bisa diterima.

Tetapi, dalam konteks KLB Partai Demokrat yang terjadi pendaftaran tidak boleh diterima, karena masih terjadi klaim dari pihak lain.

Baca Juga: Aldi Taher Ciptakan Lagu Untuk Ayu Ting Ting, Sebut Papa Muda dalam Liriknya

"Jadi ada dualisme kepengurusan. Kepengurusan AHY pasti akan mengklaim KLB Demokrat di Deli Serdang tidak sah," ujar Refly.

Lain hal berdasarkan pengalaman hukum selama ini Kemenkumham akan mengatakan tidak bisa menerima pendaftaran tersebut sebagai pengurus baru melalui KLB.

Sebab, ada pihak lain yang juga mengklaim. Pada akhirnya Kemenkumham memberikan dua mekanisme, yakni melalui internal partai politik atau jalur pengadilan negeri (PN).

Jika menggunakan langkah internal partai, tentunya merujuk pada Undang-Undang Partai Politik dan seharusnya kasus tersebut diselesaikan oleh Mahkamah Partai.

Namun, jalan tersebut kemungkinan besar akan ditolak oleh salah satu pihak.

"Walaupun kita tahu Undang-Undang Partai Politik yang memperkenalkan Mahkamah Partai sengaja diadakan pascaterjadinya konflik partai-partai politik," katanya pula.

Namun, yang menjadi masalah ialah Mahkamah Partai sering tidak efektif karena dipilih oleh pengurus sebelumnya tanpa melalui pemilihan dalam kongres.

Baca Juga: Pendidikan Agama Islam belum masuk PPPK, Kemenag Nizar: Kami Perjuangkan Nasib Honorer Guru Agama jadi PPPK

Oleh sebab itu, seharusnya ke depan Mahkamah Partai dipilih dalam kongres dan terdiri dari pihak internal maupun eksternal serta bersifat independen.

Bila Mahkamah Partai tidak bisa menyelesaikan kisruh yang terjadi, maka langkah selanjutnya yakni jalur meja hijau atau lanjut ke pengadilan.

Dengan demikian gugat-menggugat sudah pasti terjadi antara dua kubu. Jika merujuk pada undang-undang seharusnya konflik semacam ini diselesaikan di PN.

"Di PN akan selesai selama 60 hari, jika banding 30 hari dan kalau kasasi juga 30 hari," ujarnya lagi.

Baca Juga: Ali Mochtar Ngabalin: Urusan KLB Demokrat Hal Remeh Temeh Internal, Menyeret Nama Jokowi Ingat Saya Lawan Kamu

Kemudian dalam jangka waktu empat bulan kasus tersebut seharusnya sudah selesai dan tidak ada lagi konflik yang terjadi.

Tetapi, jika merujuk ke belakang konflik yang terjadi di Partai Golkar dan PPP memakan waktu yang cukup lama.***

Editor: Mamiq Alki

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah