Sejarah Shalat Jumat yang Menakjubkan

17 Juli 2022, 14:35 WIB
Ilustrasi/Sejarah shalat Jumat yang menyimpan sejumlah makna. /UNSPLASH/Masjid Pogung Raya

WARTA LOMBOK - Mengerjakan shalat Jumat hukumnya fardhu 'ain, jika telah cukup syarat-syaratnya. Perintah melakukan shalat Jumat turun di Makkah.

Namun di Makkah sendiri tidak diselenggarakan shalat Jumat di kala itu, karena belum cukup bilangan kaum muslimin.

Penyebab lain adalah karena syi'arnya harus ditampakkan sedangkan Nabi di Makkah masih sembunyi-sembunyi.

Baca Juga: Wajib Dipelajari! Sunnah-Sunnah yang Harus Dikerjakan bagi Orang yang Masbuk dalam Shalat

Orang pertama kali yang melakukannya atau menyelenggarakannya di Madinah sebelum Nabi hijrah adalah As'ad bin Zurarah.

Shalat diselenggarakan di sebuah kampung yang berdekatan dengan kota Madinah. Shalat Jumat itu shalat yang paling utama.

Sebagaimana dikutip wartalombok.com dari Kitab Fathul Mu'in Jilid 1, bahwa dinamakan dengan shalat Jumat karena banyak orang-orang berkumpul untuk melakukannya.

Nabi Adam bertemu atau berkumpul dengan Hawa di Muzdalifah pada hari Jumat dan karena itu pula Muzdalifah disebut dengan Jam'an.

Shalat Jumat wajib dikerjakan oleh setiap orang mukallaf yaitu orang baligh yang berakal sehat, yang lelaki serta bukan budak belian.

Karena itu tidak wajib bagi orang wanita atau banci, atau budak sekalipun mukatab, karena kekurangan persyaratan mereka.

Baca Juga: Sering Keliru! Ini yang Harus Dikerjakan Makmum Masbuk Saat Mendapatkan Imam dalam Keadaan Rukuk

Dengan syarat mereka itu Mutawaththin (bertempat) di tempat shalat Jumat itu diselenggarakan.

Tidak pergi dari tempat itu baik di musim kemarau ataupun penghujan selain ada keperluan yang semacam pergi berdagang atau ziarah.

Mereka juga tidak sedang berudzur, misalnya sakit atau udzur-udzur lain seperti disebutkan dalam udzur-udzur jamaah.

Orang sakit yang tidak bisa datang ke tempat diselenggarakannya shalat Jumat setelah matahari memasuki belahan langit barat, tidak wajib melakukan shalat Jumat.

Shalat Jumat bisa jadi (sah) dengan disertainya orang yang sedang udzur.

Shalat Jumat wajib dikerjakan oleh orang muqim (tinggal) di tempat diselenggarakan Jumat yang tidak mutawaththin.

Misalnya orang muqim di tempat diselenggarakan Jumat selama 4 hari atau lebih sedangkan ia bermaksud pulang ke tempat sendiri, sekalipun nanti setelah berhari-hari lagi.

Baca Juga: Sosok Sa'ad bin Mu'adz, Kematiannya Mampu Mengguncang Arsy

Wajib dikerjakan oleh orang muqim mutawaththin di tempat yang panggilan Jumat masih dapat didengar, dimana penduduk tempat diselenggarakan jum'ah kurang dari 40 orang.

Baik orang muqim tidak mutawaththin (keterangan atas) atau muqim mutawaththin ini wajib mengerjakan shalat Jumat.

Namun shalat Jumat tidak jadi (tidak sah) dengan dipenuhinya dua orang tersebut di bawah ini, yaitu muqim bukan mutawaththin, dan muqim mutawaththin.

Tetapi di luar daerah diselenggarakan Jumat sekalipun ia sendiri wajib mengerjakan Jumat  bila mendengar panggilan Jumat dari tempat diselenggarakannya itu.

Shalat Jumat tidak jadi (tidak sah) dengan dipenuhinya budak dan anak-anak. Tetapi shalat mereka sah.

Hanya seyogyanya mereka menunda takbiratul ihram sampai sesudah takbirnya 40 orang yang sah Jumatnya, dengan kepenuhan mereka.

Demikian persyaratan yang dikemukakan segolongan ulama' Muhaqqiqun, kendatipun banyak pula pendapat yang menyelisihinya.***

Editor: Herry Iswandi

Sumber: Kitab Fathul Mu'in

Tags

Terkini

Terpopuler