Hukum Menikahi Wanita yang Ditinggal Pergi Suaminya

- 17 Juli 2021, 17:25 WIB
Ilustrasi/Pendapat kalangan ulama mengenai hukum menikahi wanita yang ditinggal suaminya dalam waktu lama tanpa kejelasan yang dikenal dengan istilah Mafqud
Ilustrasi/Pendapat kalangan ulama mengenai hukum menikahi wanita yang ditinggal suaminya dalam waktu lama tanpa kejelasan yang dikenal dengan istilah Mafqud /Unsplash/andri onet

WARTA LOMBOK - Dalam kehidupan sehari-hari untuk membina rumah tangga yang harmonis atau yang dikenal dalam Islam disebut dengan sakinah mawahdah wa rahmah sangatlah sulit.

Sehingga tak salah apa yang dirasakan manusia zaman sekarang ini, dulu para ulama bahkan para sahabat rasul pun mengalami pertengkaran dalam rumah tangga yang dibina.

Artinya, untuk totalitas harmonis dalam rumah tangga itu sangatlah sulit, terlebih-lebih pada zaman sekarang ini.

Baca Juga: Fenomena Alam Posisi Matahari Persis di Atas Ka'bah Terjadi Hari Jumat 16 Juli 2021, Berikut Penjelasannya

Baca Juga: Kriteria Hewan yang Tidak Sah Dijadikan Kurban Saat Hari Raya Idul Adha

Banyak permasalahan dalam membina rumah tangga, contoh kecil yang selalu terjadi adalah ketika perempuan dilamar oleh seseorang, namun ia sedang berstatus istri sah dari suami yang ada, hanya saja ia ditinggal pergi begitu saja tanpa keterangan yang jelas.

Suami yang pergi tanpa diketahui kejelasan yang pasti dalam waktu yang lama di dalam fikih dikenal dengan istilah mafqud.

Dalam kondisi seperti itu terdapat dua pendapat dari kalangan ulama. Pendapat pertama, si perempuan harus menunggu hingga diyakini ikatan pernikahannya dengan si suami telah terputus, baik karena kematian suaminya, kabar talak darinya, maupun semisalnya. Kemudian ia telah menjalani masa iddahnya.

Hal ini mengingat hukum asal dalam kasus tersebut adalah si suami masih hidup dan status pernikahannya masih berlaku secara menyakinkan sehingga tidak dapat dianggap batal kecuali secara meyakinkan pula.

Demikian pendapat Imam As-Syafi’i rahimahullâh dalam Qaul Jadid yang artinya:

“(Suami yang menghilang) karena pergi atau sebab lain (dan terputus beritanya, maka istrinya tidak boleh menikah lagi sampai diyakini) yakni diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti berita luas atau dinyatakan mati secara hukum (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau sesudah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah. Sebab, hukum asalnya adalah si suami masih hidup dan pernikahan tetap sah secara yakin sehingga hal ini tidak bisa hilang kecuali dengan berita yang yakin pula atau yang disamakan dengannya,” (Ibnu Hajar Al-Haitami).

Baca Juga: Keutamaan Puasa Sunnah Tarwiyah Tanggal 8 Dzulhijjah yang Wajib Diketahui

Baca Juga: Hari Raya Idul Adha Sebentar Lagi, Ini Hikmah Mengapa Kita Harus Berkurban

Pendapat kedua, si perempuan harus menunggu sampai lewat masa empat tahun qamariyyah dan kemudian melakukan iddah selama empat bulan 10 hari.

Masa empat tahun digunakan standar karena merupakan batas maksimal usia kehamilan. Sedangkan perhitungannya dimulai sejak hilangnya keberadaan suami atau keputusan hukum dari hakim atas kematian suami.

“(Menurut qaul qadim, ia harus menunggu selama empat tahun), menurut satu versi: empat tahun itu dihitung sejak raibnya si suami. Sementara menurut versi al-ashhah, dihitung sejak ada keputusan dari hakim, maka waktu yang berlalu sebelumnya tidak di hitung. (Kemudian ia menjalani ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu boleh menikah) setelahnya. Demikian karena mengikuti putusan hukum Umar RA dalam kasus tersebut. Penggunaan acuan empat tahun, mengingat masa tersebut merupakan batas maksimal masa kehamilan.” (Ibnu Hajar Al-Haitami).

Dengan adanya kejelasan yang telah dipaparkan tadi tentu akan mendapatkan pemahaman yang mendasar, sehingga permasalahan yang demikian akan dipahami dengan mudah, wallahua’alam.***

Editor: Herry Iswandi

Sumber: nu.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah