WARTA LOMBOK - Revisi terbatas pada UU No. 19/2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dilakukan untuk menghilangkan multitafsir.
Hal itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) dalam konferensi pers secara daring, di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa 8 Juni 2021.
Mahfud MD. Menurutnya, Pasal-pasal yang akan direvisi, yakni Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 serta Pasal 45C.
"Itu semua untuk menghilangkan multitafsir, menghilangkan pasal karet dan menghilangkan kriminalisasi," ujar Mahfud seperti dilansir wartalombok.com dari Antara, pada Rabu 9 Juni 2021.
Menurut Mahfud, revisi terhadap pasal-pasal tersebut sebagaimana masukan dari masyarakat. Namun, kata dia, revisi tersebut tak serta-merta mencabut secara keseluruhan UU ITE.
"Kita perbaiki tanpa mencabut UU itu, karena UU itu masih bisa diperlukan untuk mengatur lalu lintas komunikasi kita," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Mahfud juga mengungkapkan, keputusan revisi itu diambil setelah mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
"Tadi kami melaporkan kepada Presiden dan sudah disetujui untuk dilanjutkan (revisi)," ucap Mahfud.
Dia menambahkan, Kemenkumham akan menyusun draf revisi UU ITE itu dan hasilnya akan segera disampaikan ke DPR.
Tak hanya itu, surat keputusan bersama (SKB) tiga kementerian/lembaga, yakni Polri, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Kejaksaan Agung, terkait dengan pedoman penafsiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) segera diluncurkan.
"Prinsipnya Presiden minta segera diluncurkan. Kami jadwalkan dalam minggu ini (diteken), paling lambat minggu depan. Semua sudah selesai, tinggal diluncurkan, kami sedang mencari waktu," ujarnya.
Pedoman tafsir UU ITE ini, ujar Mahfud, akan digunakan sambil revisi UU ITE dibawa ke proses legislasi.
Baca Juga: Makna Spiritual Bulan Juni: Cinta, Harapan dan Kebahagiaan
Dilain hal, Pemerintah kembali melancarkan serangan kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Melalui Menko Polhukam Mahfud MD, pemerintah menegaskan bahwa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah mengobral tanah ke pihak asing. Sebaliknya, praktik obral lahan terjadi pada pemerintahan SBY.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Irwan langsung bereaksi. Dia menilai Mahfud MD telah melakukan tajassus, yaitu orang yang suka mencari kesalahan dan noda pemerintahan sebelumnya untuk menutupu keburukan kinerjanya.
"Prof Mahfud ngawur itu ngomongnya," kata pria yang akrab Irwan Fecho ini kepada wartawan, Selasa 8 Juni 2021.
Bahkan Mahfud dianggap tidak tahu beda HPH (hak pengusahaan hutan) dan HGU (hak guna usaha). Dia menjelaskan, HPH itu adalah pemberian izin di kawasan hutan dan bukan penguasaan atas tanah di Areal Penggunaan Lain. "Tetapi (HPH) hanya hak untuk mengusahakan hutan atau memanfaatkan potensi kayu di dalam kawasan hutan," ujar anggota Komisi V DPR ini.
Oleh karena itu, legislator asal Kalimantan Timur ini mengaku sangat aneh jika Mahfud MD bicara pengalihan tanah kepada asing saat pemerintahan SBY, tapi membahas pemberian HPH di masa itu.
"Kalau bicara hak untuk mengusahakan tanah itu HGU namanya. Kalau HPH itu ijin usaha pemanfaatan hasil hutan, kayu, hutan dan alam atau disebut juga IUPHHK-HA. Tanahnya tidak menjadi hak pemegang ijin. Jadi sangat jelas bedanya," tegas Doktor Ilmu Kehutanan ini.
Dia pun menyarankan agar Mahfud MD berhenti menuding pemerintahan sebelumnya, karena justru dapat mempermalukan pemerintahan Jokowi.
"Prof Mahfud sebaiknya berhenti menyalahkan pemerintah sebelumnya. Itu bukan hanya mempermalukan dirinya sebagai pejabat negara tapi juga mempermalukan atasannya sendiri yaitu presiden Jokowi. Kan jadinya seperti pemerintahan ini tidak bisa kerja tapi bisanya hanya mencari kesalahan pemerinth sebelumnya," saran Irwan.
Sebelumnya diberitakan, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut bahwa pemerintahan Jokowi tidak pernah mengobral tanah ke asing. Sebaliknya, kasus pengobralan tanah ini hanya perjanjian kontrak dari pemerintahan sebelumnya yakni era SBY yang terjadi sejak 2004-2014. Hal ini disampaikammua saat menjadi pembicara dialog dengan Rektor UGM dan pimpinan PTN/PTS seluruh Yogyakarta yang ditayangkan YouTube Universitas Gadjah Mada pada Sabtu 5 Juni 2021 kemarin.***