Utang Membengkak dan Beban Bunga Utang APBN yang Semakin Besar, Marwan Cik Asan: Keuangan Negara Bisa Kolaps

28 April 2021, 14:15 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) Marwan Cik Asan /dpr.go.id

WARTA LOMBOK -  Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) Marwan Cik Asan mengatakan dalam keterangannya di Jakarta Selasa, 27 April 2021, menyebutkan total utang pemerintah Indonesia sampai akhir 2020 mencapai Rp6.000 triliun lebih.

Ia juga mengatakan, Jika tidak ada langkah-langkah strategis untuk mencegahnya semakin membengkak, keuangan negara bisa kolaps.

Dengan kondisi utang Rp6.000 triliun lebih dan 85,90 persen merupakan SBN dan 14,10 persen berupa pinjaman, kondisi keuangan negara layak dikhawatirkan.

Baca Juga: Refly Harun Tidak Percaya Kalau Munarman Itu Teroris: Ini Seperti Tindakan untuk Menakut-Nakuti Masyarakat

‘’Ini kondisi yang mengerikan. Karena rasio utang telah mencapai 39,46 persen. Jika utang pemerintah digabungkan dengan utang BUMN maka total utang mencapai Rp12.269,63 triliun, dengan rasio utang mencapai 79,5 persen dari PDB. Ini bisa membuat keuangan negara kolaps,’’ kata Marwan seperti dilansir wartalombok.com dari laman Partai Demokrat Rabu, 28 April 2021.

Memang, secara umum, posisi utang pemerintah masih dapat dikatakan aman jika merujuk pada batas 60 persen yang ditetapkan undang-undang. Namun jika digabungkan dengan utang BUMN, rasionya telah melampaui ketentuan undang-undang.

“Ada sejumlah hal perlu menjadi perhatian. Antara lain, porsi beban bunga utang dalam APBN yang semakin besar. Selain itu, defisit keseimbangan primer juga terus meningkat. Ini menunjukkan pemerintah sudah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayar bunga utang, sehingga pembayarannya dilakukan melalui penarikan utang baru,’’ papar Sekretaris Fraksi PD DPR-RI itu.

Baca Juga: Ramalan Zodiak Rabu, 28 April 2021: Capricorn, Aquarius, Pisces, Ada Prospek Pekerjaan yang Menggiurkan

Marwan menambahkan, faktor lain yang perlu diwaspadai adalah biaya utang yang semakin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal, untuk utang jangka waktu 10 tahun mencapai 6,72 persen, lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang hanya 0,03%, China 2,99%, Thailand 1,29%, dan Malaysia 2,5%.

Aspek krusial lain yang perlu dicatat, rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB juga semakin menurun.

‘’Rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB mencapai 19,8 persen tahun 2008, tertinggi sejak tahun 2000. Tapi terus menurun menjadi 15,4 persen tahun 2014, 12,4 persen pada 2019, dan 10,6 persen di tahun 2020. Rasio yang rendah tersebut menunjukkan bahwa kondisi fiskal dan keuangan pemerintah sulit untuk dipertahankan,’’ katanya.

Dua aspek lain yang harus diwaspadai adalah porsi kepemilikan asing dalam SBN semakin besar dan peningkatan jumlah utang BUMN serta potensi gagal bayar.

‘’Karena itu, kami berharap pemerintah dapat lebih selektif dalam melakukan penarikan utang untuk mewujudkan pemanfaatannya secara optimal. Harus benar-benar untuk kegiatan produktif dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,’’ tambahnya.

Baca Juga: KPK Menetapkan 3 Orang Tersangka Dugaan TPK Penerimaan Hadiah Oleh Penyelenggara Negara

Marwan juga mengingatkan, penarikan utang dalam jumlah besar saat ini, akan menjadi beban bagi pemerintah di masa yang akan datang. Hasil pemeriksaan BPK dalam IHPS II 2019 juga menemukan bahwa pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaian. Ini berpotensi mempengaruhi kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang.***

Editor: Mamiq Alki

Sumber: Demokrat

Tags

Terkini

Terpopuler