Mengulik Perkembangan Pendidikan di Indonesia Lewat Buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”

27 Desember 2020, 17:50 WIB
FOTO ilustrasi orang miskin.* /Jimmy Chan /Pexels

Oleh: Randa Satria Diradinata

WARTA LOMBOK - Pada dasarnya, anak-anak di Indonesia tidak lagi ada alasan putus sekolah.

Hal ini karena secara umum Bantuan Operasional Sekolah (“BOS”) Sekolah Menengah Atas (“SMA”) bertujuan untuk mewujudkan layanan pendidikan menengah khususnya jenjang SMA yang terjangkau dan bermutu bagi semua lapisan masyarakat dan secara khusus, bertujuan untuk mengurangi angka putus sekolah SMA.

Baca Juga: Pendidikan efektif untuk penurunan angka stunting

Secara khusus program BOS Sekolah Dasar (“SD”) dan Sekolah Menengah Pertama (“SMP”) bertujuan untuk:[2]
membebaskan pungutan bagi seluruh peserta didik SD/SD Luar Biasa negeri dan SMP/SMP Luar Biasa/SD-SMP Satap/SMPT negeri terhadap biaya operasi satuan pendidikan.

membebaskan pungutan seluruh peserta didik miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di satuan pendidikan negeri maupun swasta; dan meringankan beban biaya operasi satuan pendidikan bagi peserta didik di satuan pendidikan swasta.

Melihat wajah Pendidikan Indonesia di masa pandemi ini sangat relevan dengan buku yang berjudul “Orang Miskin Dilarang Sekolah.

Baca Juga: Pentingnya Guru Disertifikasi

Pemantik dalam diskusi kali ini adalah Eko Prasetyo, yang sekaligus penulis buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”.
Orang tua pun mempunyai kewajiban dan tanggung jawab sebagai berikut:

mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak; dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

Kegiatan Seri Diskusi Pendidikan Murah diawali dengan penjelasan dari penulis mengenai latar belakang terbitnya buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah”.

Baca Juga: Sosial Budaya Sebagai Penunjang Pendidikan Nasional

Penulis memaparkan bahwa buku ini lahir ketika terjadi pertarungan politik antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden ke-6 Indonesia, dengan Megawati, Presiden ke-5 Indonesia, pada masa Pilpres 2004.

Dialog kemudian dilanjutkan dengan moderator menanyakan masih relevankah permasalahan dalam buku tersebut pada pendidikan saat ini.

Alumni dari UII tersebut mengungkapkan bahwa permasalahan terbesar dari pendidikan di Indonesia adalah tingkat akses. Hingga saat ini, akses pendidikan bagi orang miskin di Indonesia masih tergolong sulit.

Baca Juga: Gerakan Literasi Masyarakat

Selanjutnya, Eko Prasetyo menyoroti terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Menurutnya, Nadiem dipilih bukan karena faktor sebagai pendidik ataupun yang mempunyai ide dalam pendidikan, melainkan faktor dirinya yang merupakan pemilik perusahaan Gojek.

“Gojek sendiri membuat semua hal menjadi lebih mudah dan efektif. Nampaknya hal itu yang menjadi dasar filosofi agar membuat pendidikan menjadi lebih mudah dan efektif,” ungkapnya.

Hal tersebut senada dengan analogi yang sering diutarakan Nadiem bahwa anak sekolah harus belajar dengan cara yang berbeda-beda, seperti seorang perenang menggunakan berbagai gaya dalam berenang.

Baca Juga: Quo Vadis Ujian Nasional

Menurut Agus, ide kampus merdeka dari Nadiem bermakna meletakkan universitas sebagai pasar dunia kerja. Bahkan, apabila memungkinkan, para mahasiswa diberi kesempatan magang lapangan kerja.

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kekhawatiran Nadiem apabila universitas menciptakan banyak pengangguran kerja.

Makna kedua kampus merdeka menurutnya adalah ide kebebasan, hal tersebut diejawantahkan dalam salah satu wacana dari kampus merdeka yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk saling berpindah antar fakultas.

“Ide itu dibuat demi tujuan membuka pikiran mahasiswa bahwa antar fakultas itu bukan berdiri sendiri melainkan saling berkolaborasi, dengan seperti itu mahasiswa dapat melihat keragaman ilmu pengetahuan,” pungkasnya.

Baca Juga: Riset Ilmuwan Eropa Tentang 'Leak' Lombok

Meski tidak ada aturan eksplisit soal orang tua yang membiarkan anaknya putus sekolah, dalam praktiknya, contoh kasus orang tua yang tidak membiayai pendidikan anaknya sehingga anaknya putus sekolah dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Militer I-02 Medan Nomor PUT/74-K/PM I-02/AD/V/2012.

Terdakwa sejak Juni 2010 tidak menafkahi istri dan anak-anaknya. Terdakwa menikah lagi dengan wanita lain padahal masih berstatus sebagai suami dari istrinya.

Akibat dari perbuatan terdakwa, anaknya yang kedua berhenti sekolah sehingga anaknya terlantar dan istrinya terpaksa menjual barang-barang rumah tangganya.***

 

Akhirnya, hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga. Hakim menjatuhkan pidana penjara selama dua bulan.” Sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”).
Contoh lain dapat kita temukan juga dalam Putusan Pengadilan Negeri Soe No : 158/Pid.Sus/2014/PN.SOE. Berdasarkan fakta yang terungkap di pengadilan diketahui bahwa sejak Terdakwa keluar dari rumah meninggalkan istri dan anak-anaknya Terdakwa tidak pernah memberikan biaya untuk kebutuhan hidup istri dan anak-anaknya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, istri harus bekerja kebun dibantu oleh anak-anaknya dan anaknya yang kedua (13 tahun) sempat putus sekolah dengan bekerja sebagai pengojek.

Editor: LU Ali

Tags

Terkini

Terpopuler