Sementara itu, pendapat yang kuat dalam mazhab Malikiyah adalah memperbolehkan wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an, baik khawatir lupa hafalan atau tidak.
Baca Juga: Jika Anda Telah Jatuh Cinta, Maka Segeralah Menikah
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Arafah ad-Dasuki al-Maliki (wafat 1230 H), ia mengatakan:
الْمُعْتَمَدَ أَنَّهُ يَجُوزُ لها الْقِرَاءَةُ حَالَ اسْتِرْسَالِ الدَّمِ عليها كانت جُنُبًا أَمْ لَا خَافَتْ النِّسْيَانَ أَمْ لَا
Artinya: “Pendapat yang kuat (dalam mazhab Malikiyah), bahwa diperbolehkan bagi wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an di masa-masa keluarnya darah, baik sedang junub atau pun tidak, khawatir lupa hafalan atau tidak,” (Imam ad-Dasuki, Hasiyah ad-Dasuki ‘ala Syarhil Kabir, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 174).
Alhasil, para ulama berbeda pendapat perihal hukum muraja’ah Al-Qur’an bagi wanita haidh.
Dalam mazhab Syafi’iyah, ada yang mengatakan boleh, ada nada pula yang mengatakan tidak boleh.
Hanya saja, untuk menghindari perbedaan pendapat ulama, alangkah baiknya mengikuti opsi yang ditawarkan oleh Imam Nawawi dan pendapat Syekh Khatib asy-Syarbini, yaitu cukup dengan membacanya dalam hati, atau membaca dengan bibir sekira suaranya tidak terdengar oleh telinga.
Sementara itu, dalam mazhab Malikiyah juga terjadi perbedaan pendapat, hanya saja pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini adalah yang memperbolehkan.***